Kinanthi

 

Kinanthi: Terlahir KembaliKinanthi: Terlahir Kembali by Tasaro G.K.
My rating: 3 of 5 stars

Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk mengendapkan buku ini di dalam pikiran saya. Itulah sebabnya saya baru menulis review buku ini hampir dua minggu setelah saya selesai membacanya. Ada banyak hal yang ingin saya sampaikan, tapi banyak juga yang kemudian saya urungkan. Setelah membaca buku ini saya juga jadi ingin menulis surat seperti Kinanthi, surat ke seseorang yang entah masih mengingat saya atau tidak. Saya berharap dia masih mengingat saya, meskipun hanya kadang-kadang. Tapi saya rasa saya tidak akan pernah tahu, seperti Kinanthi yang tak pernah tahu apakah Ajuj masih memikirkannya, masih mengingatnya, setelah mereka dipisahkan secara paksa ketika Kinanthi masih belia.

Kehidupan Kinanthi, seorang anak dari keluarga miskin di daerah Gunung Kidul sangatlah berat. Ayahnya penjudi, ibunya adalah orang yang dijauhi orang-orang kampung, karena meskipun sang ibu dulunya adalah kembang desa tapi semua lelaki yang dinikahinya selalu meninggal dunia. Kecuali ayah Kinanthi. Menjadi anak seorang penjudi (yang berjudi karena terpaksa oleh keadaan mereka yang miskin) dan ibu yang dijauhi orang-orang membuat hidup Kinanthi kecil sangat sulit. Ia tidak pernah memiliki teman, kecuali Ajuj.

Berbeda dengan Kinanthi yang berasal dari keluarga semacam itu, keluarga Ajuj tergolong terpadang, karena ayahnya adalah seorang rois atau pemimpin keagamaan di kampung mereka. Tentu bisa dibayangkan bagaimana pertemanan mereka menjadi olok-olok anak-anak kampung, karena bagaimana mungkin seorang anak dari orang yang mengerti agama bersahabat dengan anak seorang penjudi? Apalagi Ajuj laki-laki dan Kinanthi seorang perempuan. Mereka telah "dituduh" saling mencintai dan berpacaran bahkan sebelum keduanya paham apa itu cinta.

Setelah lulus SD, Kinanthi harus berpisah dengan Ajuj setelah kedua orang tua Kinanthi menukar anaknya dengan 50 kg beras. Tidak ada di benak ayah Kinanthi untuk menjual anaknya. Tapi ia merasa itu adalah pilihan yang terbaik karena orang yang membawa Kinanthi berjanji akan menyekolahkan putri tercintanya itu. Kinanthi terlalu pandai untuk hidup terkungkung di dusun kecil nan miskin dan tandus itu. Sayangnya sang ayah tak tahu, bahwa putri tercintanya yang diharapkan hidup bak putri sungguhan ternyata diperlakukan sebagai pembantu, bukan anak seperti dugaannya. Parahnya lagi, Kinanthi tidak jadi disekolahkan hingga lulus SMP karena ada sebuah tragedi menimpanya beberapa saat sebelum ujian kenaikan kelas 3. Lalu di usianya yang baru 15 tahun, Kinanthi dipaksa menjadi TKW dan pergi ke negeri antah berantah yang tak pernah dikenalnya.

Kehidupannya sebagai TKW tidaklah menyenangkan karena ia mendapatkan majikan perempuan yang ringan tangan dan majikan lelaki yang mesum. Setelah berkali-kali pindah majikan hingga dijual ke negara asing lainnya, Kinanti akhirnya tiba di Amerika Serikat. Ada sejuta asa yang dipendamnya sebelum menginjakkan kaki di negara Paman Sam itu, tapi semuanya runtuh dan ia tiba dalam titik nadir dalam hidupnya.

Ketika menghadapi semua masalah itu, hanya satu nama yang diingatnya. Ajuj. Ajuj yang selalu membelanya. Ajuj yang mau berteman dengannya. Ajuj yang selalu baik kepadanya dan adik lelakinnya, Hasto. Ajuj yang selalu ia kirimi surat sejak ia meninggalkan kampung halamannya tapi tak pernah membalas suratnya....

Apakah Ajuj masih mengingatnya? Apakah Ajuj masih memedulikannya?

***

Aih, susahnya mau nulis review buku ini... Kisah Kinanthi sebenarnya cukup bikin depresi, tapi saya menyukainya karena rasanya begitu riil. Tidak seperti "Sunset Bersama Rosie", di kisah ini saya tidak merasa Tasaro mempermainkan hidup Kinanthi hanya untuk membuat pembaca merasa simpati, iba, dan sedih. Saya tidak merasa dimanipulasi dan merasa bahwa cerita Kinanthi bisa ditemukan di negara kita ini.

Meskipun memang ada beberapa hal yang menurut saya terlalu berlebihan dan tidak logis, tapi entahlah... Saya bisa memaafkannya.

Secara keseluruhan saya suka sama tokoh-tokoh utamanya. Saya suka sama Kinanthi, Ajuj, juga Zhaxi Yang terakhir saya bingung mau ngejanya gimana. Sering kepeleset jadi Zaki. Apa kita panggil Bang Zak aja sekalian? X)

Balik lagi ke tokoh. Saya rasa semua tokoh ditampilkan dengan wajar. Yang jahat, jahatnya nggak kayak sinetron. Yang baik juga nggak berlebihan hingga kayak malaikat. Setiap tokoh mampu menampilkan realitas kehidupan yang ada saat ini. Seperti ibu angkat Kinanthi di Amrik, ayahnya Ajuj, dsb. Tapi favorit saya adalah Mbah Gogoh, seorang perempuan tua yang menjadi tempat suaka bagi Kinanthi dan Ajuj.

Mbah Gogoh yang memilih hidup sendirian dan terpisah dari kampungnya. Mbah Gogoh yang diam-diam ternyata memiliki keteguhan sekeras baja ketika melihat sesuatu yang tidak sesuai prinsipnya. Prinsip yang ia dapatkan dari suaminya yang telah tiada mengenai tradisi Islam di kampung itu yang masih diselubungi kesyirikan. Hanya Mbah Gogoh lah yang mampu melihat Kinanthi dan Ajuj sebagai anak-anak. Dan hanya di sanalah mereka berdua bisa hidup dan berteman dengan wajar layaknya anak-anak.

Selain Mbah Gogoh, saya juga suka sama si Bang Zak. Kecerdasannya, selera humornya yang unik, juga dedikasinya pada pekerjaan dan prinsip hidupnya membuat saya terpesona....

Jadi, begitulah kisah Kinanthi yang memberi saya banyak hal untuk dipikirkan. Alhamdulillah saya membacanya setelah umroh, jadi saya tidak punya prasangka aneh-aneh selama di sana ketika bertemu orang-orang Arab. Meskipun saya selalu ingat pesan teman saya untuk tidak terlalu beramah-ramah dengan lelaki Arab supaya tidak dilecehkan. Tapi ya kadang susah, karena defaultnya orang Indonesia itu memang senyum dan ramah kalau ketemu sama orang baru. Sedih rasanya ketika keramahan itu ternyata justru menjadi pisau yang menusuk tuannya sendiri....

Sungguh saya merasa pedih ketika Kinanthi yang sedang disiksa majikannya bertutur, "Saya Muslim, Anda juga Muslim. Kenapa Anda melakukan ini ke saya?" dan dijawab dengan majikannya dengan, "Bukan. Saya majikan dan kamu pembantu." Apa bedanya perilaku semacam itu dengan perilaku orang jahiliyah dulu, yang melihat orang berdasarkan hal-hal yang fisik dan materi, bukan dari keimanannya?

Kisah Kinanthi tentu tidak bisa disamaratakan dengan semua TKW yang bekerja di negara Timur Tengah. Tapi tentu saja tidak bisa dianggap tidak ada. Juga tidak bisa dipungkiri bahwa kadang kala kesalahan ada di pihak kita (Iya, kita. Karena TKW itu kan orang Indonesia juga...) karena para TKW yang dikirimkan kurang pendidikan atau memiliki sikap yang tidak menyenangkan. Semoga saja para TKW juga TKI yang bekerja di sektor-sektor informal ini suatu saat bisa dihargai layaknya para TKW dan TKI di sektor formal yang mengenyam pendidikan tinggi dan mendapatkan gaji besar dan juga status di negara-negara asing. Karena bukankah secara definisi, keduanya sama-sama menggunakan tenaga mereka untuk bekerja di negara asing...?

View all my reviews

Comments