Filosofi Kopi
Membaca Filosofi Kopi karya Dee mungkin akan terasa lebih nikmat jika ditemani dengan secangkir kopi panas yang menyegarkan. Dengan creamer yang banyak dan sedikit gula, di sore hari yang hujan. Secangkir kopi dan sebuah buku, pasangan yang sangat serasi. Sayangnya, saya malah membaca buku ini sambil lompat-lompatan (bukan sambil main karet lho... xp).
Saya sudah cukup lama mengenal Filosofi Kopi, tapi saya dulu tidak berminat untuk membacanya. Awalnya saya mengira itu adalah buku filsafat mengenai kopi, yang dalam hati langsung saya komentarin, "Aduh, penting banget ya sampe kopi segala pake ada filsafat-filsafatannya segala...". Maklum, saat itu kebetulan teman saya dari Program Studi Filsafat-lah yang saya lihat memegang buku itu.
Saya sudah cukup lama mengenal Filosofi Kopi, tapi saya dulu tidak berminat untuk membacanya. Awalnya saya mengira itu adalah buku filsafat mengenai kopi, yang dalam hati langsung saya komentarin, "Aduh, penting banget ya sampe kopi segala pake ada filsafat-filsafatannya segala...". Maklum, saat itu kebetulan teman saya dari Program Studi Filsafat-lah yang saya lihat memegang buku itu.
Beberapa tahun kemudian, saya menemukan buku ini di kamar adik saya. Ketika itu, saya lagi main ke rumah mbah saya di Jogja. Adik saya yang kuliah di Jogja, "ngekos" di rumah mbah, dan buku itu ia pinjam dari temannya. Akhirnya, saya numpang baca deh. Lumayan, dapat beberapa cerita. Yang paling membekas ketika itu adalah cerita Filosofi Kopi, dan Mencari Herman. Sayangnya, belum selesai saya baca, saya sudah pulang ke Jakarta. Bye bye Filosofi Kopi...
Beberapa bulan setelahnya, saya ke Jogja lagi. Kali ini, saya lagi-lagi berniat untuk menyelesaikan buku yang satu ini. Tapi, kali ini saya tak bisa membaca banyak-banyak karena situasi dan kondisi yang nggak memungkinkan. Jadilah saya pulang lagi ke Jakarta tanpa menyelesaikan buku itu.
Sekitar sebulan yang lalu, saya mendengar kalau buku ini akan diterbitkan ulang. Soalnya, buku ini memang sulit sekali didapat di pasaran. Kali ini dengan Bentang Pustaka sebagai penerbitnya. Saya belum pernah membaca atau memiliki karya Dee sebelumnya, tapi saya punya keingingan untuk mengoleksinya suatu hari nanti. Soalnya, saya ini termasuk orang yang pilih-pilih ketika beli buku. Terutama buku-buku karya pengarang Indonesia. Bukannya mau underestimate, tapi saya perlu rekomendasi dari banyak orang dulu sebelum akhirnya saya memutuskan untuk beli buku karya pengarang Indonesia.
Dan yah, karena saya suka gaya bercerita Dee, apa salahnya jika saya memulai koleksi saya melalui Filosofi Kopi?
Dalam buku kumpulan cerita dan prosa satu dekade Dee ini, tampaknya semua pembaca jatuh hati pada cerita Filosofi Kopi dan Mencari Herman. Memang, kedua cerita ini unik dan gaya penceritaan Dee yang khas, mampu mengolah tema sederhana menjadi sebuah cerita yang berbobot dan menarik. Tapi, saya tidak akan mereview cerita-cerita itu. Saya akan mencoba mengulas cerpen terakhir di buku ini, Rico de Coro.
Ketika membaca cerita terakhir ini, saya membayangkan pasti banyak wanita yang bergidik ngeri atau jijik membayangkan sang tokoh utama di cerita ini yang tidak lain dan tidak bukan adalah seekor KECOAK. Yup! Kecoa yang dibenci separuh lebih wanita di muka bumi. Kecoak kecil, hitam, dan bau yang terkadang suka terbang berseliweran seenaknya di rumah kita. Padahal, tokoh utama cerita ini adalah pangeran kecoak yang tampan lhoo.. Hihihi
Nah, untungnya saya bukan pengidap kecoak phobia. Jadi, saya bisa menikmati cerita ini dengan seksama dan tertawa sekaligus bersedih menikmati alur cerita ini.
Rico de Coro adalah seekor kecoak rumahan yang tinggal di rumah keluarga Haryanto. Ayah Rico adalah raja di kerajaan kecoak dapur yang menganggap dirinya berbeda dengan kecoak lainnya. Ia adalah kecoak ningrat yang penuh harga diri dan intelek. Saking inteleknya, ia memberi nama dirinya sendiri, Hunter, beserta semua penduduk yang berada di bawah kekuasaannya.
Tetapi, nama Rico bukan lahir dari ayahnya. Nama itu justru lahir dari mulut seorang gadis cantik putri keluarga Haryanto yang bernama Sarah. Sarah ini benci setengah mati sama kecoak, dan dia bertanggung jawab atas pembunuhan yang terjadi di kerajaan itu. Soalnya, kalo Sarah udah teriak, "Kecoak!!!" maka kakak-kakak Sarah, David dan Natalia, juga Bi Ipah akan bergegas melancarkan serangan militer untuk menghabisi nyawa kecoak yang mengganggu Sarah.
Sebagai seekor kecoak, Rico mengalami cinta terlarang yang bertepuk sebelah tangan kepada Sarah. Baginya, Sarah adalah sosok yang sangat sempurna dan ia tidak bisa mencintai perempuan lain (kecoak ataupun manusia) selain Sarah. Tapi, ia tentu tidak bisa melihat Sarah secara terang-terangan, karena jika Sarah sampai melihatnya maka nyawanya pasti akan melayang di tangan-tangan kejam "bodyguard" Sarah.
Rico tahu bahwa perasaannya ini salah. Sarah tidak akan pernah melirik Rico. Selain karena dia adalah seekor kecoak, sejak dulu sampai sekarang juga belum ditemukan teknologi untuk menyilangkan manusia dan kecoak. Jadi, Rico hanya bisa menyimpan perasaannya sendiri di dalam hatinya. Soalnya, kalau ayah Rico sampai tahu, ia pasti akan marah besar sama Rico.
Rico sendiri tidak bisa menahan perasaan cintanya kepada Sarah, dan kerap kali bermimpi, berkhayal, berimajinasi, bahwa dia menjadi seorang manusia dan bisa bersanding dengan Sarah. Impian ini tentunya hanya sekadar mimpi saja, hingga suatu hari terjadi sebuah kejadian dimana Rico harus memilih. Hidup tenang sebagai seekor kecoak yang akan mewarisi kerajaan ayahnya, atau menukar nyawanya demi menyelamatkan Sarah.
Dari semua cerita dan prosa yang ada di buku ini, cerita terakhir inilah yang menurut saya paling lucu, paling komikal, tapi juga paling romantis dan menyentuh. Dee sekali lagi mengambil tema sederhana dari sekeliling kita dan mulai meramunya hingga lahirlah sebuah cerita pendek yang menarik dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Setelah ini, saya mungkin akan beli karya-karya Dee lainnya. Apalagi saya dapet kupon khusus yang bisa ditukar kalau nanti saya beli buku Dee yang akan launching sebentar lagi, Partikel. Tapi mungkin, sebelumnya saya harus baca kisah supernova dari awal dulu yaa... Biar nggak terlalu cengok sendiri tau-tau langsung baca Partikel... ;p
Penulis : Dee
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2012 (Cetakan Pertama, Januari)
Tebal : 142 hal
ISBN : 9786028811613
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2012 (Cetakan Pertama, Januari)
Tebal : 142 hal
ISBN : 9786028811613
Aku paling suka cerita yg judulnya Mencari Herman.. Ngenes banget ceritanya..
ReplyDeleteIya, betul. Cerita itu memang tragis banget. Aku juga suka. Huhu..
ReplyDeleteDari "Filosofi Kopi", saya justru paling suka sama "Kuda Liar", emang sih pendeeek bangets itu cerita tapi yang pendek itu berkesan bangets, serasa tiap kata mempunyai makna, hahaha :D
ReplyDeleteSelain itu, "Filosofi Kopi"-nya sendiri juga otree, ngebacanya bikin pengen minum kopi sambil mencari tahu apa arti dari kopi yang diminum :q
And yang Rico itu emang mantapss.. dari makhluk yang kadang bikin orang suka menatapnya dengan geli malah bisa jadi cerita yang 'manis' :))
Memang rasanya kalo baca cerita "Filosofi Kopi" saya jadi pengen nyeruput kopi deh. Sambil duduk di pinggir jendela, melihat pemandangan di luar. Hhhmm... Mantab
ReplyDeleteSebenarnya ini adalah karya Dee yang pertama saya baca, dan saya suka dengan gaya bercerita Dee. Dia begitu pandai dalam mengolah berbagai hal kecil di sekitarnya untuk dijadikan bahan tulisan. Salut!
ohh.. thank youuntuk review-nya. saya jadi tertarik untuk beli bukunya:)
ReplyDelete