Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
My rating: 4 of 5 stars
Penulis adalah orang yang peka terhadap perubahan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya
Beberapa tahun yang lalu, di suatu kelas sastra, saya mendengarkan dosen saya mengatakan kata-kata itu. Ketika itu, bahasan kami tentang sosiologi sastra. Memang tepat jika dikatakan demikian, karena melalui jejak torehan tinta para penulis, kita banyak mengetahui hal-hal yang terjadi di masa lalu. Meskipun memang, sebuah karya sastra tidak bisa dijadikan patokan seutuhnya dalam menggambarkan suatu masyarakat pada waktu karya itu dibuat. Butuh fakta-fakta utama lainnya, sehingga karya itu nantinya akan dapat digunakan sebagai sebuah data pendukung.
Itu jugalah yang saya rasakan setelah membaca karya Pram yang satu ini, "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels". Padahal, saya tahu kalo ini adalah non fiksi (meskipun awalnya dikirain fiksi -,-) dan ada data-data konkret yang digunakan ketika menulis buku ini (ngelongok dapus), tapi tetap saja mau tak mau saya memikirkan hal di atas. Agak nggak nyambung memang, pikiran saya ini...
Melaui bukunya ini, Pram menceritakan bagaimana proses pembuatan jalan raya dari Anyer ke Panarukan dengan panjang mencapai 1000 km, hanya dalam setahun saja. Semuanya tentu saja berkat yang mulia Mr. Herman Willem Daendels, Sang Tuan Besar Guntur, wong londo bertangan besi yang kejam setengah mati, yang memerintahkan pembangunan jalan itu untuk menghindari serangan Inggris dan India yang ingin mengambil alih wilayah Belanda, di tahun 1808.
Lalu, ingatan saya pun melayang ke kelas-kelas sejarah ketika saya masih imut-imut dulu. Tentu kita semua, anak-anak yang bersekolah di Indonesia, sudah hapal betul jika ditanya siapa pembuat jalan terpanjang dari Anyer ke Panarukan. Atau jika terdengar nama Daendels, yang terbayang tentunya adalah jalan itu. Tapi, berapa banyak dari kita yang tahu seberapa panjangnya jalan itu, berapa banyak tenaga kerja yang digunakan, dan berapa banyak korban yang harus jatuh akibat pembuatan jalan itu? Saya pikir tidak banyak yang tahu. Setidaknya, ketika saya masih imut-imut dulu, saya benar-benar nggak ada gambaran kalo Anyer-Panarukan itu ternyata nggak jauh tapi jjjaaauuuuhhh buannggeeettttt. Yah, mungkin kesalahan memang bukan pada guru dan buku sejarah, tapi pada saya aja yang mungkin, ini mungkin lho, nggak nyimak pelajaran di kelas. Tapi, dengan bangga saya mengatakan kalau sejak dulu saya sudah menyimpan ketertarikan pada sejarah, hingga ketika masih imut-imut dulu (jangan eneg ya.. xp) saya sering tuh baca buku pelajaran sejarah kayak lagi baca buku cerita aja. Soalnya, emang bener buku cerita juga, sih....
"Jasmerah! Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!"
Itulah yang dikatakan Bung Karno dulu. Kata-kata yang sederhana, tapi sulit dipraktikkan. Kenyataannya, bangsa kita saat ini bukan hanya melupakan sejarah, tapi juga mengaburkan sejarah. Dan membaca buku Pram ini semakin meyakinkan saya kalau banyak sekali fakta yang ditutup-tutupi dari negeri ini.... Saya seolah melihat sisi baru dari bangsa ini, yang nggak saya kenali sebelumnya...
Sejarah itu milik penguasa!
Seru teman saya, mahasiswa program studi sejarah di kampus sore itu. Saat itu saya yang masih imut-imut (ya, dibandingin sama temen-temen saya di prodi sejarah yang pikirannya udah pada ribet... xp) sebenarnya agak nggak terima. Bagaimana mungkin sejarah yang saya ketahui selama ini, banyak yang di antaranya hanya merupakan rekaan dari rezim yang bersangkutan saja? Lalu, dimana kebenaran hakiki itu berada?
Jawaban itu seolah dipaparkan satu per satu oleh Pram di hadapan saya melalui buku kecilnya ini. Saya yang dulu terlalu naif, kini sadar sepenuhnya, kalau sejarah memang milik orang yang berkuasa. Mereka akan memilih sendiri mana yang boleh diceritakan dan mana yang harus disimpan rapat-rapat, bahkan kalau perlu dimusnahkan. Nggak hanya di negara ini, tapi juga di berbagai tempat di belahan dunia. Selama membaca buku ini, tak bisa dihindarkan, kalau saya memiliki banyak pertanyaan serta perasaan yang berkecamuk di dalam diri saya....
Mengapa baru kali ini saya tahu bahwa pernah ada genosida di Indonesia? Mengapa warga dunia tampak begitu peduli dengan genosida di Jerman oleh Hitler itu, genosida di Vietnam, di Afrika, tapi kenapa genosida di nusantara tak pernah terekspos sebelumnya? Berapa banyak warga pribumi yang tewas karena tingkah polah para penjajah? Ratusan ribu, jutaan, puluhan juta? Jika Daendels meminta dikirimkan 1.000 pekerja setiap harinya kepada penguasa pribumi dan hanya sedikit dari mereka yang selamat, berapa jumlah pekerja pribumi yang dibutuhkan selama setahun? Berapa orang dari mereka yang selamat, jika pemandangan tubuh manusia bergeletakan tanpa nyawa di suatu desa, tanpa ada yang sanggup menyolatkan dan menguburkan (mengingat itu fardhu kifayah bagi Muslim), menjadi pemandangan yang biasa?
Berapakah jumlah rakyat kecil Pribumi yang tewas, baik di Bandaneira, proyek Jalan Raya Pos, dan Cultuurstelsel? Yang di Bandaneira tak pernah disebutkan angka. Yang di Jalan Raya Pos, menurut sumber Inggris hanya berapa tahun setelah kejadian; 12.000. Yang di Grobogan 3.000 sementara ada yang menyebut 5.000. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki. Nyawa rakyat kecil Pribumi nampaknya hanya baik jadi sumber kebesaran barat. (Hal. 22)
Semuanya pakai ilmu kirologi. Kira-kira saja. Yang meninggal selama pembuatan Jalan Raya Pos kira-kira 12.000. Yang meninggal di Maluku, kira-kira 40.000. Yang meninggal di Kalimantan akibat dibantai Jepang, nggak ada datanya, dan nggak ada yang berusaha untuk mencari datanya. Ya memang, rakyat kecil itu nggak ada artinya. Kalau mereka mati, masih ada banyak yang bisa menggantikan. Toh salah satu anugerah bumi nusantara ini, selain tanahnya yang subur, rakyatnya juga melimpah ruah. Jadi, untuk apa merepotkan diri dengan kejadian yang sudah lama terjadi. Toh, sekarang masih banyak hal yang perlu dipikirkan, bukan?
Kenapa orang yang mengaku dirinya sebagai penganut "Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan" itu justru menjadi orang yang paling bertindak kejam kepada manusia? Apa hanya karena warna kulit kami yang berbeda? Bahasa kami yang berbeda? Budaya kami yang berbeda? Inikah potret kebebasan dan kemerdekaan yang begitu diagung-agungkan oleh Barat itu?
Sejujurnya saya memang menganggap bahwa hasil pemikiran Barat, yang dikagumi banyak orang itu, semuanya omong kosong belaka. Mereka menawarkan kebebasan, tapi siapa coba yang dulu berlayar dengan kapal dan persenjataan lengkap (padahal ngakunya pedagang) dan mengusir kaum pribumi? Mereka mengagung-agungkan kesetaraan, padahal di Afrika Selatan sekarang inipun, masih kental sekali politik apartheidnya. Ya, nggak usah jauh-jauh juga sih. Ke Papua aja sana, buat tau gimana bedanya antara orang asing dan pribumi? Toh, semua yang mereka ungkapkan semuanya memiliki standar ganda.
“You don't have to burn books to destroy a culture. Just get people to stop reading them.”
Mungkin kata-kata Ray Bradbury di atas cocok untuk mengungkapkan apa yang terjadi di negeri ini saat ini. Belum 100 tahun negara ini merdeka, tapi tampaknya kita telah melupakan semua semangat kepahlawanan yang diwariskan oleh kakek, nenek, dan buyut kita dulu. Kita, saya, terlalu terlena dengan berbagai kemudahan yang ada sekarang, hingga mempelajari sejarah negeri ini telah menjadi prioritas yang kesekian di negeri yang dipenuhi kelabilan dan kegalaluan ini...
Selepas membaca buku ini, mau tak mau saya teringat beberapa orang teman yang sepertinya begitu benci dengan negara ini, hingga kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu berupa kata-kata sinis yang menyudutkan negerinya sendiri. Sadarkah mereka kalau tanah yang ditinggali sekarang ini dibayar dari darah orang-orang terdahulu? Sadarkah mereka menghirup udara kebebasan dari negeri yang mereka hina ini? Sadarkah mereka kalau negara barat dengan segala keagungan pemikiran yang mereka kagumi itu
Indonesia adalah negara tempat saya lahir. Tempat saya hidup, tumbuh, belajar, dan mungkin akan menjadi tempat persemayaman terakhir saya. Indonesia adalah ibu pertiwi, tempat saya pulang. Tempat anak-anak bangsa di bawah NKRI merasakan dan mengambil segala sumber dayanya. Tapi, ternyata masih begitu sedikit hal yang kita ketahui dari negara ini....
Sejujurnya, setelah membaca karya Pram, saya merasa sedang dilucuti. Saya merasa benar-benar bodoh karena nggak tahu apa-apa tentang negara yang sudah saya tinggali sepanjang hidup saya ini. Dan Pram, melalui bukunya ini, seolah bertindak seperti seorang kakek bijaksana yang mengajarkan saya apa yang terjadi di negara ini di zaman penjajahan dulu. Saya diajak berkelana dari Anyer hingga Panarukan. Saya seolah merasakan perang yang dulu berkobar demi mengusir penjajah. Turut merasakan kekesalan ketika ada penguasa pribumi yang memihak mereka demi perutnya sendiri. Merasa marah ketika Daendels dengan kejamnya menyuruh pekerja pribumi untuk membelah gunung hanya dengan peralatan minim, hingga nyawa mereka berterbangan satu per satu tanpa ada harganya (dan memang nggak berharga dari dirinya). Dan merasa bangga ketika pribumi melakukan pemberontakan yang membuat penjajah kalang kabut. Bener, deh. Kalau saya pegang stabilo selama baca buku ini, pasti hanya tersisa sedikit kertas putih di bukunya, karena saya sangat ingin menyerap dan mengingat semua informasi yang ada di sana....
Lalu yang masih menjadi misteri bagi saya adalah, bagaimana bisa Daendels menjadi Gubernur Jenderal pada masa itu?
Ah, ternyata pengetahuan saya memang masih begitu ceteknya....
View all my reviews
waah aku sama skali gak tau tentang sejarah itu, maklum orang sulawesi :D
ReplyDeletebtw, reviewnya bagus :)
Wah, Mbak. Jangankan Mbak yang orang Sulawesi, aku yang seumur-umur tinggal di pulau Jawa aja nggak tau juga... :D
ReplyDeleteMungkin sebaiknya pelajaran sejarah itu dibikin cerita ky gini, jadi menarik ya :)
ReplyDeleteIya, betul. Kalau dibuat dengan menarik, orang-orang pasti nggak pada anti dengan pelajaran sejarah deh... :D
ReplyDelete