The Fault in Our Stars
My rating: 4 of 5 stars
Perkenalkan, nama mereka adalah Hazel Grace Lancaster dan Augustus Waters. Usia mereka masih sangat muda, baru menginjak 17 tahun. Tapi mereka telah merasakan banyak hal, terutama rasa sakit, lebih banyak daripada yang pernah kita bayangkan.
Ya, ini adalah kisah cinta. Kisah cinta yang setiap orang berharap akan bisa berakhir dan dikenang selamanya. Tapi, tentu saja itu tidak mungkin. Tak ada satupun hal yang abadi di dunia ini. Begitupun dengan mereka berdua, apalagi kisah cinta mereka. Waktu hanyalah sekumpulan bilangan, yang terangkai dalam detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya. Bagi mereka berdua, waktu adalah hal yang sangat penting, tidak seperti kau dan aku, yang dengan mudahnya menyia-nyiakan waktu. Mereka sadar bahwa waktu mereka terbatas, meskipun sebenarnya tidak ada jaminan juga bagi kita, untuk memiliki waktu lebih banyak bagi mereka.
Ah, aku lupa. Aku belum bercerita bahwa Hazel terkena kanker. Kanker tiroid yang telah menyebar ke paru-parunya. Ia tidak bisa menarik napas dengan lega setelah bangun tidur di pagi hari yang sejuk, sepertiku. Ia tidak bisa lagi merasakan bagaimana udara segar masuk dari hidungmu dan memenuhi paru-parumu. Paru-paru Hazel terlalu payah untuk melakukan itu semua. Kanker telah membuat hidupnya berubah. Ia juga harus menerima kenyataan, bahwa ia tidak bisa disembuhkan. Hidupnya bisa diperpanjang, tapi penyakitnya tak bisa disembuhkan. Ia bagai sesosok granat berjalan, yang kita tak akan pernah tahu kapan akan meledaknya.
Meskipun demikian, Hazel itu sosok yang cerdas dan yang jelas tidak menyebalkan. Beda dengan sebagian besar tokoh utama wanita yang kukenal. Meski dia bukan menjadi tokoh wanita favoritku (saat ini masih dipegang oleh Lisbeth Salander dan Hermione Granger), tapi aku menghargainya karena dia (dan utamanya John Green) tidak menjual rasa sakit itu untuk memperoleh simpati. Hazel, dengan kata-katanya yang cerdas tapi cukup sinis dan sarkastis, cukup membuatku menyukainya.
Selanjutnya, mari kuperkenalkan kalian pada Augustus, atau Gus. Dia tampan. Jago main basket. Fisiknya sempurna. Atau setidaknya dulu begitu. Sebelum osteosarkoma mengambil sebelah kakinya. Tapi tampaknya ia tidak terlalu keberatan dengan itu, atau setidaknya aku merasakan begitu. Gus menikmati hidupnya, meski ia pernah kehilangan orang yang dicintainya karena penyakit itu.
Gus adalah sosok yang menyenangkan. Sosok lelaki populer yang mampu memeriahkan suasana dengan guyonannya, atau cukup dengan ia berada di sana. Gus sama cerdasnya dengan Hazel, dan aku suka sekali dengan percakapan-percakapan mereka yang benar-benar tak tampak seperti remaja usia 17 tahun. Terlebih lagi, aku suka dengan cara Gus memanggil Hazel dengan Hazel Grace. Panggilan itu membuat Hazel terlihat lebih istimewa. Belum lagi olok-olokannya terhadap rokok yang benar-benar cerdas. Gus mampu menguras airmataku dengan segala hal tentang dirinya itu.... Tak heran banyak yang mencintainya, karena Gus memang benar-benar pantas dicintai... :') #nangismewek
Sebelum mengakhiri kisah mereka, rasanya tidak adil kalau aku tidak menceritakan tentang sebuah buku yang sangat penting bagi cerita ini. Buku itu menjadi obsesi Hazel, dan kemudian Gus. Buku itu berjudul "Kemalangan Luar Biasa", ditulis oleh seorang lelaki bernama Peter Van Houten. Kenapa Hazel terobsesi dengan buku itu? Karena Anna, tokoh utama buku itu, sama seperti Hazel. Ia menderita kanker.
Sayangnya, Peter seolah sengaja membiarkan kisah di buku itu menggantung begitu saja. Hazel tidak terima dan begitu penasaran dengan akhir ceritanya. Ia memang telah menyiapkan diri bahwa Anna mungkin memang telah meninggal atau terlalu sakit hingga tak bisa melanjutkan kisahnya. Tapi, ia ingin tahu kelanjutan hidup tokoh-tokoh lainnya. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada ibu Anna, pada pria Belanda yang jadi kekasih ibu Anna, pada hamster piaraan Anna, dan pada orang-orang di sekitar Anna...
Kurasa Hazel menjadi terobsesi karena ia hanya ingin memastikan, bahwa satu kematian tidak akan menambah buruk dunia ini. Ia ingin memastikan, bahwa kehidupan orang-orang tercintanya akan tetap berjalan seperti semestinya, meskipun ia telah tiada nanti. Ia hanya tidak ingin, kematian membuat kehidupan orang lain rusak....
Hhhhuuuuuuuufffttt......
Sungguh, sulit bagiku untuk menceritakan kembali kisah ini. Sudah terlalu banyak orang yang melakukannya, dan aku tak bisa melakukannya sebaik mereka. Lagipula, entah kenapa ada sesuatu yang masih mengganjal di dadaku, yang membuatku butuh waktu cukup lama untuk bisa menulis review ini... Kurasa itu salah satu tanda bahwa John Green telah dengan pandai mampu membolak-balikkan emosiku....
Terlepas dari cover yang memang tidak sesuai dengan isi cerita, pilihan judul yang agak aneh, dan terjemahan yang mungkin terasa datar dan tidak menggebu-gebu (entah karena proses penerjemahannya, atau memang gaya bertutur John Green yang memang seperti itu...), kisah ini mampu memberikan pandangan baru bagiku tentang arti menjadi orang sakit dan juga, tentang kehidupan itu sendiri....
================
Review ini diikutkan dalam:
Juga dalam FYE children literature di blog Bacaan Bzee yang sekarang sedang berada di Fun Months 1. Kupikir buku ini baru boleh dibaca oleh mereka yang di atas 16 tahun. Dialognya sangat dewasa (bukan dalam hal kata-katanya, tapi kedalaman dialognya), begitupun dengan ceritanya. Oh iya, TFiOS ini juga sudah meraih banyak penghargaan di antaranya Goodreads Choice Award 2012 lalu untuk kategori "Best Young Adult Fiction".
View all my reviews
lumayan sering baca review tentang buku ini, tapi review yang satu ini berasa beda, bahasanya daleeem xD
ReplyDeletePaling suka dengan kalimat ini "Bagi mereka berdua, waktu adalah hal yang sangat penting, tidak seperti kau dan aku, yang dengan mudahnya menyia-nyiakan waktu."
Setuju banget, kadang kita mengaku bahwa kita mencintai seseorang (entah itu pasangan,keluarga ataupun sahabat), tetapi kita tidak memberikan perhatian sepenuhnya karena kita merasa bahwa kita masih punya banyak kesempatan di lain waktu,, padahal who knows kan seberapa lama lagi kita bisa bersama mereka.
Sementara kedua tokoh dalam novel ini sangat sangat menyadari bahwa waktu mereka terbatas, sehingga mereka bisa lebih menghargai kebersamaan dengan orang-orang di sekitarnya. Jadi penasaran pengen baca buku ini :D
Terima kasih... :")
DeleteAyo baca-baca... hehehe