Berplesir Bersama Bujang Dengan Hati Paling Lurus di Sepanjang Tepian Kapuas

Ibu, usiaku dua puluh dua, selama ini tidak ada yang mengajariku tentang perasaan-perasaan, tentang salah paham, tentang kecemasan, tentang bercakap dengan seseorang yang diam-diam kukagumi. Tapi sore ini, meski dengan menyisakan banyak pertanyaan, aku tahu, ada momen penting dalam hidup kita ketika kau benar-benar merasa ada sesuatu yang terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan. Sayangnya, sore itu juga menjadi sore perpisahanku, persis ketika perasaan itu mulai muncul kecambahnya.

Borno namanya. Usianya dua puluh dua ketika ia merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Jatuh cinta kepada seorang gadis cantik berwajah sendu menawan, yang setiap pagi menaiki sepit untuk menyeberangi Sungai Kapuas. Hingga suatu hari, sepucuk amplop merah tertinggal di dasar sepit Borno. Mugkinkah gadis cantik peranakan Cina yang berwajah sendu itu memang sengaja meninggalkan amplop merah serupa angpau itu di dasar sepit Borno, ataukah itu hanya amplop merah biasa yang biasa dipakai sebagai pemberian angpau ketika perayaan Imlek dan Cap Gomeh?

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah adalah cerita cinta. Cerita cinta yang sederhana. Sesederhana matahari yang menyinari bumi setiap harinya tanpa mengeluh sedikit pun. Sesederhana hujan yang turun di pagi hari. Sesederhana angin yang lembut menyapa di sore hari. Sederhana.

Tak perlu berkerut ataupu kecewa ketika Anda tak menemukan konflik macam sinetron atau telenovela di dalamnya. Apalagi pertarungan antara jagoan ahli Kungfu dengan mafia Cina yang melibatkan senjata api, ataupun senjata tajam lainnya. Jangan harap. Jangan bersedih juga jika tidak ada adegan sang tokoh utama berlari-lari dan menari-nari di antara pepohonan sambil membentangkan selendang.

Karena semua hal yang dikisahkan dalam buku ini sangatlah sederhana. Sesederhana kehidupan.

Ya, pada hakikatnya hidup ini memang sederhana, hanya manusia sajalah yang gemar mempersulitnya. Mempersulit dengan berbagai asumsi dan dugaan yang belum tentu benar adanya. Mempersulit dengan ego sendiri sehingga menyakiti banyak orang. Padahal orang-orang bijak selalu berkata, “Permudahlah, jangan dipersulit.”

Setelah karya-karya Bang Tere sebelumnya banyak mengambil latar di Sumatra, kali ini Bang Tere melintas pulau menuju Kalimantan. Kota yang dipilihnya adalah sebuah kota yang memiliki asal usul unik, yang terletak tepat di garis khatulistiwa. Ya, ia adalah Pontianak.

Ratusan tahun yang lalu, kota yang belum bernama ini dikejutkan oleh teror yang dilakukan oleh sesosok hantu yang gemar menculik anak-anak, Ponti namanya. Untungnya, seorang bangsawan yang sakti mandraguna mampu mengalahkannya dan membawa kedamaian kembali ke kota ini. Akhirnya, alih-alih memberi nama dengan namanya sendiri, ia justru memberi kota ini nama Pontianak, agar orang-orang dapat mengenang selalu sejarah kelam yang dulu pernah menghantui kota ini.

Di kota inilah kisah Borno bermula dan juga berakhir. Pemuda yang aslinya bernama Borneo (tapi karena orang-orang sering kepeleset lidah, jadinya dipanggil Borno deh), ini adalah pemuda biasa.Ia kehilangan ayahnya di usia 12 tahun, lalu hidup bersama ibunya di gang sempit di tepian Sungai Kapuas. Lulus SMA tidak tahu ingin jadi apa, kerja serabutan kesana kemari hingga akhirnya memutuskan untuk mengemudi sepit, meskipun awalnya Borno sangat menentangnya karena tidak ingin melanggar wasiat bapaknya, untuk tak jadi pengemudi sepit.

Apalah istimewanya seorang Borno yang selalu mematuhi perintah ibunya, menghormati sahabat-sahabat ayahnya, paling ringan tangan dalam membantu sesama, dan akhirnya menemukan titik terang mengenai jalan yang ingin ditempuh untuk masa depannya? Apalah istimewanya pemuda macam itu?

Aih, ternyata saya memang keliru. Borno tentu saja adalah pemuda yang sangat istimewa. Jika tidak, ia tidak akan mendapatkan gelar itu: anak bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Sungai Kapuas.

Sejujurnya, meskipun menceritakan tentang cinta, menurut saya agak terlalu meremehkan jika Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah disebut sebagai novel cinta biasa. Karena menurut saya, yang lebih banyak saya pelajari justru mengenai kehidupan. Saya jauh lebih tertarik dengan cerita mengenai kehidupan sehari-hari Borno ketimbang kisah cintanya dengan gadis cantik nan sendu menawan bernama Mei itu.

Melalui kisah Borno yang komikal tapi sarat makna, saya dapat belajar banyak hal. Saya belajar mengenai persahabatan, kekeluargaan, sifat gotong royong dan tenggang rasa (yang bukan hanya ada di buku pelajaran saja, juga toleransi. Semua kisah itu dibungkus dengan apik dalam novel Bang Tere ini.

Nah, walau tiga suku bangsa ini punya kampung sendiri, kampung Cina, kampung Dayak, dan kampung Melayu, kehidupan di Pontianak berjalan damai. Cobalah datang ke salah satu rumah makan terkenal di kota Pontianak, kalian dengan mudah akan menemukan tiga suku ini sibuk berbual, berdebat, lantas tertawabersama—bahkan saling traktir. “Siapa di sini yang berani bilang Koh Acong bukan penduduk asli Pontianak?” demikian Pak Tua bertanya takzim. (Hal. 195)

Bang Tere membuat saya jatuh cinta dengan semua pemeran yang ada di novel ini (yah, kecuali si penipu yang merusak hidup Andi itu). Saya merasa jatuh cinta dengan Borno, dan mereka yang tinggal bersama Borno, dan mengisi kehidupannya. Saya suka dengan Koh Acong si pemilik toko kelontong dan Cik Taulani yang pelit lagi senang menyuruh-nyuruh Borno. Saya sempat sebal dengan Bang Togar, tapi kemudian perasaan itu berubah menjadi tawa tergelak-gelak dan perasaan haru melihat kelakuan abang si Borno yang satu ini.

Saya suka dengan penghuni gang sempit yang ibu-ibunya tukang ngegosipin Borno, atau Pak Sihol yang sabunnya jatuh ditelan Sungai Kapuas tiap kali Borno dan sepitnya melintas.

Saya juga terkagum-kagum dengan otak si Andi, sahabat Borno, yang meskipun sarannya tentang cinta sering kali murahan (contek dari sinetron dan film India), tapi terkadang bisa berubah menjadi Shakespeare sang pujangga cinta, yang bahkan Borno pun mengakui kehebatannya. Belum lagi bapaknya pun tak kalah ajaib dengan si anak, yang meskipun suka berbual tetapi memiliki dedikasi yang tinggi kepada keluarga dan cita-citanya.

Oh, dan jangan lupakan orang-orang di dermaga sepit yang membuat saya membayangkan naik sepit dengan pengemudi macam mereka. Jauhari yang tukang ngomel kalau antriannya diselak tapi doyan ngupil setiap ada waktu istirahat, Pak Tua yang bijaksana, petugas timer yang bikin saya penasaran nama aslinya siapa (untung Bang Tere akhirnya berbaik hati memberitahukan saya nama si petugas timer yang suka ceplas ceplos bicara ini), dan Bang Togar (lagi) yang bertampang preman tapi berhati perawan, dsb.

Aih, rasanya sempurna sekali jika kehidupan dikelilingi dengan orang-orang macam mereka, yang selalu memberi warna bagi kehidupan. Terutama Pak Tua, yang membuat saya ingin mencatat semua kata-kata penuh hikmah yang keluar dari mulutnya. Sungguhan deh, Indonesia perlu lebih banyak sosok lelaki seperti Pak Tua, agar populasi Ababil dan Alay berangsur-angsur hilang kemudian musnah dari bumi nusantara ini... ;p

Nah, berikut ini saya ingin mencantumkan beberapa petuah a la Pak Tua, yang tidak hanya membuat saya tertusuk duri, tetapi juga manggut-manggut sok mengerti macam burung perkutut di dalam sangkar emas.

“Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekadar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus tak pernah berhenti, begitu pula cinta.”
“Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kaupamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu.” (Hal. 428)

“Itu setidaknya membuktikan satu hal, Borno.” Pak Tua menghiburku. “Sepanjang kau mau bekerja, kau tidak bias disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi, dipikirnya tidak pantas dengan ijazah yang dia punya. Itulah kenapa angka pengangguran kita tinggi sekali, padahal tanah dan air terbentang luas.” (Hal. 49)

Dan saya paling suka dari cerita Pak Tua adalah kisah mengenai Fulan dan Fulani, yang mampu membuat dada saya terasa sesak dan mata saya berkaca-kaca. Tetapi, saya tidak akan menceritakannya di sini, karena hanya akan merusak kesenangan Anda ketika membaca novelnya nanti. Bacalah sendiri, dan rasakan perasaan Anda turut larut dan mengalir bersama air di Sungai Kapuas.

Satu hal yang mungkin tidak terlalu sukai adalah akhir ceritanya yang sedikit klise. Tetapi, biarlah begitu adanya, karena menurut saya masih dalam taraf yang wajar dan tidak terlalu mengganggu keasyikan jalan cerita.

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah adalah novel ke-empat Bang Tere yang sudah saya baca. Menurut saya, novel ini mengangkat tema paling sederhana dari kisah-kisah lainnya, yang membuatnya sekilas tak terlalu istimewa. Tetapi, sekali lagi saya ingin mengatakan untuk tak terlalu banyak pikir ketika membacanya, karena Bang Tere dengan pandainya telah merajut hikmah yang tercecer di alam semesta, dan dengan baik merangkaikannya untuk kita. Hikmah-hikmah yang oleh sebagian orang terlihat terlalu biasa, hingga luput untuk menyadarinya, padahal sebenarnya hikmah itu dapat berguna bagi kehidupan kita.

Dan, setelah membaca buku ini mau tak mau saya pun turut jatuh cinta pada Pontianak dan Sungai Kapuas, hingga saya merasa perlu menjalin doa agar suatu saat nanti bisa berkunjung ke kota yang dulu pernah dikuasai hantu Ponti ini, menjelajahi Sungai Kapuas dengan sepit, lalu berharap dapat bertemu dengan bujang dengan hati paling lurus di tepian Sungai Kapuas itu.

Judul Buku : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 512
ISBN : 9789792279139

Comments