Never Let Me Go: Tak Ada Manusia Jika Tak Ada Jiwa


Never Let Me Go by Kazuo Ishiguro
My rating: 3 of 5 stars

Lahir, menjadi bayi, lalu berkembang menjadi balita, anak-anak, remaja, dewasa, jatuh cinta, menikah, punya anak, tua, lalu mati adalah tahapan yang dialami oleh setiap manusia, atau yah sebagian besar manusia. Namun tidak dengan siswa Hailsham. Tahapan hidup mereka dipotong, hingga hanya menjadi anak-anak, remaja, menjelang dewasa, lalu mati. Kenapa? Karena mereka semua adalah manusia yang dikloning untuk keegoisan manusia normal. Jadi keberadaan mereka hanya untuk kelangsungan manusia normal, yaitu menyediakan organ untuk mereka.

Ya, mereka adalah donor-donor hidup yang dirawat sejak kecil agar tumbuh dengan jantung, ginjal, hati, paru-paru, mata, dan organ-organ lain yang sehat, agar mereka bisa menjadi donor yang baik. Donor yang menyediakan mata yang mampu melihat dengan sempurna, jantung yang mampu berdegup kencang dan memompa darah dengan baik, ginjal yang sehat, dan sebagainya.

Jadi, jalan hidup mereka telah ditetapkan sejak awal mereka diciptakan. Mereka akan menyuplai segala hal yang dibutuhkan oleh manusia-manusia normal yang sakit, di tengah masyarakat yang juga sakit.

Novel ini bercerita tentang tiga orang: Kathy, Tommy, dan Ruth. Ketiganya siswa Hailsham, yang telah saya sebutkan di atas. Hailsham adalah sebuah sekolah khusus yang siswanya adalah hasil kloningan, tidak terkecuali tiga orang di atas.

Mereka tumbuh besar bersama sejak di Hailsham hingga menjelang dewasa. Kathy dan Tommy khususnya berteman baik, dan tampaknya hanya Kathy seorang yang paling memahami Tommy di dunia ini. Tommy adalah seorang anak lelaki temperamental. Ia mudah marah, khususnya setelah ada sebuah kejadian yang menyakiti hatinya. Emosinya gampang naik, dan hanya Kathy yang mampu meredakannya.

Ruth dan Kathy bersahabat, meskipun entahlah... saya tidak terlalu bisa memahami apalagi menyukai Ruth. Ruth bisa dikatakan seorang gadis yang ambisius. Dia senang menjadi pusat perhatian dan disenangi banyak orang. Sejak di Hailsham dia telah menjadi "pemimpin" dan semua anak perempuan ingin masuk ke dalam "geng" Ruth.

Sementara Kathy adalah seorang gadis yang pintar dan perasa. Ruth-lah yang pertama kali mengajak Kathy untuk berteman. Mungkin karena ia melihat Kathy sebagai satu-satunya orang yang sanggup untuk menyainginya dalam banyak hal. Kathy juga menaruh perhatian pada hal-hal kecil, khususnya seputar Tommy. Seperti ketika emosi Tommy tampak mulai stabil setelah berbicara dengan Miss Lucy, guardian mereka.
Guardian adalah semacam pembimbing yang akan mengajari mereka tentang banyak hal, kecuali satu hal penting: yaitu bahwa tidak ada masa depan bagi mereka (mereka tak bisa pergi ke Amerika untuk menjadi aktor, atau bekerja di Supermarket, atau cita-cita lainnya), kecuali bahwa masa depan mereka sudah ditakdirkan untuk berakhir di ruang operasi. Mati dengan dua atau tiga anggota tubuh yang tidak lengkap....

Seperti kata Miss Lucy, mereka tahu tapi tidak tahu. Sejak awal mereka sepertinya sudah tahu bahwa mereka memang berbeda, tapi mereka tidak tahu dengan jelas masa depan seperti apa yang akan menanti mereka. Setelah lulus dari Hailsham, mereka akan tinggal selama beberapa tahun di semacam asrama lainnya (kali ini tidak harus siswa Hailsham, tapi campur dengan siswa dari sekolah-sekolah lainnya). Setelah itu, mereka akan menjalani pelatihan sebagai perawat, sebelum akhirnya mereka akan dipanggil untuk melakukan donasi pertama.

Kathy, Tommy, dan Ruth bersama-sama tinggal di Cottage bersama siswa lainnya. Ketika itu, Tommy dan Ruth sudah berpacaran. Kathy bertindak sebagai sahabat yang baik bagi mereka berdua. Akrab dengan Ruth, dan kerap berbagi rahasia bersama. Begitupun dengan Tommy. Hingga akhirnya suatu insiden menyebabkan hubungan mereka renggang, dan Kathy memutuskan untuk memulai pelatihan perawat lebih cepat dari biasanya.

Lalu beberapa tahun kemudian, Kathy bertemu Ruth. Ruth telah menyelesaikan donasi pertamanya, dan kondisinya tidak bagus. Kathy memutuskan untuk menjadi perawat Ruth. Tanpa disangka, Ruth membawanya kepada Tommy. Tommy yang disayanginya. Tommy yang dicintainya....

Kini, mungkinkah hubungan mereka yang dulu renggang kembali menyatu? Bisakah tindakan buruk yang dulu dilakukan oleh salah satu dari mereka dimaafkan? Mungkinkah ada akhir yang bahagia bagi mereka, jika hidup mereka dirampas begitu saja dari mereka?

Sesungguhnya, sangat sulit bagi saya untuk menulis resensi buku ini. Ketika membaca, saya merasakan sejuta perasaan (sebagian besarnya kesal sama umat manusia yang menciptakan kloningan-kloningan seperti Kathy, Tommy, dan Ruth)... Tapi sesudah membacanya saya justru terdiam, bingung, dan merasa kalau semuanya sangatlah konyol.

Saya bahkan tidak tahu apa saya menyukai buku ini, atau tidak. Saya tidak bisa memutuskan. Di satu sisi saya berpikir bahwa tidak mungkin umat manusia tega melalukan hal itu. Tapi di sisi lain saya juga tahu, bahwa manusia bisa menjadi makhluk yang paling jahat dan paling kejam di muka bumi.

Perlakuan mereka kepada siswa kloningan ini benar-benar sangat tidak manusiawi. Ya, wajar saja... karena tidak ada "manusia normal" yang menganggap mereka manusia. Padahal, mereka memiliki sebagian besar sifat "manusia normal". Mereka tumbuh. Mereka bertambah besar, bertambah tinggi. Mereka bernafas. Mereka makan. Mereka bisa buang air. Mereka berbicara. Dan yang terpenting... segala sifat yang berhubungan dengan perasaan juga ada pada mereka. Lihat saja Tommy yang marah besar bahkan mengamuk ketika ada sesuatu yang membuatnya marah. Lihat saja Ruth yang selalu ingin mendominasi dan diperhatikan. Atau lihatlah Kathy yang selalu mengalah demi sahabat-sahabatnya. Apa semua hal itu mungkin dilakukan bila mereka tidak memiliki jiwa?? Apa mungkin raga mereka bisa melakukan itu semua jika tak ada jiwa, tak ada akal, tak ada hati di dalamnya??

Mau nggak mau saya jadi kesal sendiri sama "manusia normal" dan keegoisan mereka. Memang sih ini berada di sebuah dunia distopia yang berbeda dengan dunia kita. Ya, bisa juga dianggap dunia paralel kalau mau. Sulit. Sungguh sulit untuk menggambarkan isi buku ini. Saya berpikir, mungkin di dunia itu sudah tidak ada PBB yang sibuk mengurusi HAM, atau aktivis kemanusiaan lainnya yang lantang berbicara soal layak atau tidaknya donasi terpaksa seperti itu. Yang jelas sih di masa mereka ini, semua agama pasti sudah mati. Soalnya, mana mungkin ada agama, jika praktik-praktik seperti itu ada bahkan dilegalkan. Apalagi kita tahu bersama, bahwa kloning masih menjadi kontroversi, khususnya dalam agama Islam. Ditambah lagi kalau manusia hasil kloningan diperlakukan seperti di novel ini....

Banyak hal-hal yang tidak jelas di bukunya digambarkan dengan lebih jelas di filmnya. Seperti penjelasan di awal bagaimana kemajuan di dunia kedokteran semakin canggih, hingga angka harapan hidup manusia mampu mencapai di atas seratus tahun. Lalu banyak hal-hal yang disampaikan secara tersirat disampaikan dengan jelas di filmnya. Namun ada banyak aspek film yang menurut saya sangat berbeda dengan bukunya. Seperti ketika mereka pergi bersama ke Norfolk untuk melihat "kemungkinan" Ruth, lalu alasan kenapa Kathy memutuskan untuk pergi dari Cottage dan memulai pelatihan lebih dulu, pertemuan kembali Ruth dan Kathy, serta saat-saat keputusan terakhir Ruth. Yang bikin saya meringis adalah betapa tampak nyatanya "manusia normal" menjadikan mereka semata-mata sebagai alat untuk memperpanjang hidup mereka. Alat. Bukan manusia. Meskipun akhirnya mereka mati, dan tentu hanya makhluk yang hidup saja yang bisa mati dengan cara seperti itu...

Ah, sudahlah. Saya hanya berharap dunia ini tidak menjadi seperti itu pada nantinya. Saya hanya berharap agar manusia masih terus memiliki hati nurani, yang selalu menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Meskipun manusia itu memang jahat, kejam, dan egois, tapi saya berharap mereka bisa bijak dalam mengambil keputusan, agar bumi ini tidak semakin rusak karenanya....

Ini adalah pertama kalinya saya baca novel karya Kazuo Ishiguro, warga negara Inggris keturunan Jepang dan kelahiran Jepang, yang menurut daftar The Times masuk ke dalam "The 50 greatest British writers since 1945". Sepertinya saya merasa perlu memberi penekanan terhadap "British writers", karena meskipun Om Kazuo ini kelahiran Jepang, tapi dia adalah orang Inggris. Jadi, otomatis karya yang dilahirkannya termasuk ke dalam kesusasteraan Inggris, bukan kesusasteraan Jepang.
Saya melihat ada beberapa orang yang menganggap karya Kazuo Ishiguro termasuk ke dalam kesusasteraan Jepang, padahal menurut saya tidak begitu. Ada syarat penting bagi sebuah karya untuk bisa masuk ke dalam kesusasteraan sebuah negara, salah satunya adalah syarat bahasa. Selanjutnya adalah masalah kewarganegaraan. Kazuo Ishiguro ini sudah jadi warga negara Inggris, jadi saya sangat ragu apakah karyanya diakui sebagai kesusasteraan Jepang.

Saya jadi ingat ketika skripsi dulu, saya berniat untuk membahas buku dwilogi "Samurai" karya Takashi Matsuoka. Takashi Matsuoka sendiri adalah warga negara Amerika Serikat yang tinggal di Hawaii, tapi keturunan Jepang. Dosen pembimbing saya waktu itu melarang saya, karena masih ada perdebatan apakah karya yang dihasilkannya bisa masuk ke dalam kesusasteraan Jepang atau tidak. Padahal dia adalah keturunan Jepang, dan karya yang dihasilkannya pun berhubungan dengan sejarah Jepang (meskipun ditulisnya dalam bahasa Inggris, dan sepertinya itu salah satu kendala terbesarnya...). Jadi, saya nggak jadi membahas karya beliau deh, padahal saya sangat suka dengan dua novelnya itu. Saya membahas karya sastrawan Jepang lainnya, yang memang sudah nggak diragukan lagi bahwa karyanya diakui oleh orang Jepang.

Oh iya, selain itu saya pikir permasalahan lainnya adalah... Setiap negara memiliki periodisasi kesusasteraan sendiri. Seperti di Indonesia misalnya, ada sastrawan angkatan pujangga baru, pujangga lama, balai pustaka, dsb. Begitupun dengan Jepang. Mereka punya kesusasteraan zaman Nara, Heian, Edo, hingga kontemporer. Dan akan menjadi permasalahan tersendiri Om Kazuo ini akan masuk ke periode yang mana, sementara bisa dikatakan ia hanyalah keturunan Jepang dan bukan warga negara Jepang.

Jadi, karena Kazuo Ishiguro sudah masuk ke dalam jajaran "Greatest British Writers", tentu salah jika memasukkan karyanya ke dalam kesusasteraan Jepang. Kenapa saya membahas ini? Karena saya rasa kita banyak mengalami kebingungan mengenai hal ini, dan mungkin juga tidak sedikit yang menganggap karya Kazuo Ishiguro masuk ke dalam kesusasteraan Jepang, dan bukan Eropa. Di luar negeri tampaknya kasusnya memang lebih membingungkan, karena tidak sedikit penulis-penulis keturunan (misalnya keturunan India yang tinggal di Inggris, keturunan Jepang yang tinggal di Amerika Serikat, dsb.) yang juga seorang sastrawan dan menghasilkan karya di sana. Jadilah kita bingung harus memasukkan karya Salman Rushdie ke dalam kesusasteraan Inggris atau India, Chitra Banerjee Divakaruni ke dalam kesusasteraan Amerika atau India, dsb. Apalagi jika syarat yang paling utama, yaitu bahasa telah terpenuhi. Dalam artian, mereka menulis dengan bahasa yang diakui oleh negara itu, dan tentu saja mereka juga harus diakui oleh para sastrawan di negaranya bahwa mereka memang masuk ke dalam golongan mereka.... Wallahua'lam :)

Review ini masuk ke:


Comments

  1. jadinya skripsinya tentang apa kak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tentang Om Jepun yang laen Mas Tezar. Ketika itu hatiku jadi berlabuh ke Om Murakami Haruki.... #tsaahh

      Delete
  2. Ah saya malah baru tau ini ada bukunya dan yang nulisnya pun Kazuo Ishiguro >.< Saya nonton filmnya dah itu sudah sangat memiriskan hati u.u Wajib cari nih buku ini~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, bukunya pertama terbit tahun 2005 lalu :)
      Silakan dicari bukunya :D #bukanpromosi

      Delete

Post a Comment