All You Can Eat? No, Thanks...


All You Can Eat by Christian Simamora
My rating: 1 of 5 stars

Udah lama banget ya saya nggak ngisi blog ini. Astaghfirullah... Maafkan sayaah.... *sungkem ke semuanya* Penyakit angot-angotan saya lagi kambuh... Mungkin karena saya tidak siap menerima kenyataan kalau sekarang sudah 2014 (udah bulan keempat, woy!). Atau mungkin karena rencana-rencana dan kejadian-kejadian yang menimpa saya di tahun ini begitu di luar dugaan hingga menyita waktu saya? Yah, pokoknya begitu deh.

Oke, review pertama di 2014 saya mulai dari novel yang sayangnya nggak saya suka. Buat sinopsis, liat aja di gutrits. Kalau mau tau cerita lengkapnya, juga liat aja di gutrits ya... Karena ini bukan ripiu, tapi point-point hal yang membuat saya tidak suka dengan novel ini.

Menurut saya, novel ini terlalu....

1. Panjang. 455 halaman itu menurut saya sangat panjang untuk cerita yang temanya sesungguhnya sangat sederhana.

2. Banyak menggunakan kata dan kalimat bahasa Inggris. Selera pribadi sih, memang... Tapi saya tidak terlalu suka dengan novel Indonesia yang di dalamnya tokohnya orang-orang Indonesia juga, lalu ngobrolnya banyak pakai bahasa Inggris.

Masalah tata bahasanya saya nggak mau bahas, karena grammar saya pun masih kacau. Hanya saja ada beberapa yang terdengar aneh, dan boros. Misalnya kata "lebih prefer" (hal. 203)

3. Banyak menggunakan bahasa lebay, terutama Inggris yang buat saya sih mengganggu. Misalnya penggunaan kata "puh-leez" yang diulang-ulang terus, yang bikin saya berteriak dalam hati, "ugh! capee deehh..." Kalau sekali dua kali sih nggak papa, tapi saya nggak kebayang aja wanita usia 30 tahun ngomong dengan kata-kata lebay semacam itu setiap saat.

Selain kata "puh-leez" yang suka muncul juga adalah kata "remem-buh", "sowwy", "dahling", "eibiji" (yang sempat bikin saya bingung... maklum, polos... xp), "scuse me", dsb.

Namun, nggak ada yang bikin saya lebih sebal dari penggunaan kata "gawd" dan "ya ollo", karena menurut saya kata-kata yang menunjukkan Sang Pencipta tidak pantas dimainkan seperti itu. Apalagi saya seorang Muslim, dan itu sangat mengganggu bagi saya.

4. Lebay. Kalau di atas bahasanya, di sini adalah untuk tokoh utamanya. Hhmm... Saya nggak suka sosok Sarah, yang tidak dewasa, mau menangnya sendiri, tidak bisa jaga rahasia (dia udah janji sama Jandro di awal untuk nggak ngasih tau Anye soal Nuna, eh bocor juga), dan yah... soal dia mempermasalahkan banget jarak tujuh tahun itu lebay banget sih menurut saya. Apalagi dia kan orang yang bebas dan hedon. Beda kalau dia nggak enak sama sahabatnya, atau karena hubungan dia sama Jandro udah deket banget sampai dianggap adek sendiri. Ini kan, dia udah nggak ketemu Jandro sekian luamma... Jadi, ya harusnya usia tujuh tahun nggak jadi penghalang yang sebegitu besarnya. Oh iya, Sarah yang selalu h**ny setiap di dekat Jandro juga bikin saya eneg... -,-

5. Tidak konsisten dalam penggunaan bahasa. Misalnya di awal digunakan kata "nggak", lalu diganti jadi "tidak". Kalau di percakapan sih nggak masalah pakai "nggak", tapi kalau ketika narasi pakai kata itu, rasanya kok agak aneh, ya?

Lalu penggunaan kata "pukul" ketika bertanya jam di percakapan. Kalau saya sih nggak pernah ngobrol sama temen terus nanya "Oi, kita mau jalan main pukul berapa nih?" Tapi, itu sih saya. Mungkin di luar sana banyak juga yang pakai kata-kata itu di percakapan non formal, kali ya...

Oh iya, ada bagian yang menurut saya agak konyol, yaitu ketika Sarah jogging bareng Jandro. Disitu diceritakan kalau rambut sarah berantakan bingiiddhh kayak abis berantem sama ibu-ibu yang suaminya diselingkuhin sama dia. Emang Sarah joggingnya sambil gesek-gesekin kepala ke pohon ya? Ya kali segitu berantakannya... Lalu bagian Jandro bawa air minum pas jogging juga kok rasanya aneh ya? Ditaro dimana? Kalau naik sepeda sih saya ngerti...

Satu lagi. Di hal. 209 diceritakan kalau badan Jandro berubah dari ceking jadi aduhai karena 4-5 kali sehari dia workout di gym yang ada di sebelah kantornya. Seriously?! Terus, dia kapan kerjanya dong kalo dalam sehari kerjaannya lebih banyak di gym? Itu typo kan yah? Bukan si Jandro emang maniak olahraga?

Segitu aja deh poin-poinnya. Ternyata saya memang nggak cocok baca cerita macam begini. Sudah gitu, nilai yang dianut sama penulis dan saya sebagai pembaca juga berbeda.

Eh, satu lagi deh. Di halaman 400 muncul kata-kata Jekyll. Itu Jekyll yang mana ya? Kalau saya denger kata Jekyll sih, yang langsung terlintas adalah tokoh Dr. Jekyll di novelnya Robert Louis Stevenson di "The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde". Cuma kok kayaknya ada yang salah deh penggunannya di novel ini...

"Cowok di hadapannya ini jelas berbeda. Seolah-olah yang ini adalah versi Jekyll yang selama ini Darren sembunyikan dari dirinya. Versi Jekyll yang nggak takut untuk mencium pipinya seperti tadi. Membuat hidungnya sekilas menghirup aroma mint dari mulut cowok itu." (Hal. 400)

Di novelnya Om Stevenson, Dr. Jekyll itu adalah seorang warga Inggris terhormat yang punya reputasi sangat baik di masyarakat, sedangkan Mr. Hyde adalah sebaliknya, orang buruk rupa baik fisik maupun hatinya, dan seburuk-buruknya umat manusia. Kata-kata Jekyll dan Hyde memang umum digunakan untuk menunjukkan betapa berlawanannya sifat seseorang, bagai dua sisi mata uang yang meskipun saling menyatu tapi sangat berbeda. Jekyll itu menggambarkan hal baik, dan Hyde adalah yang buruk. Jadi, harusnya itu versi Hyde bukan versi Jekyll.

Oh iya, kalau menurut saya sih sinetron itu ya bagian dari serial tv. Jadi ya, serial tv Amrik atau Inggris yang bagus-bagus itu ya semuanya bisa disebut sinetron. Apalagi kalau kita merujuk pada definisinya, yaitu sinema elektronik.

P.S. makasih buat Ren yang udah minjemin bukunya. Maap ya kalo bacanya lama... Balikinnya lebih lama lagi... >,<

Comments