Our Happy Time
My rating: 4 of 5 stars
Ibu adalah nama lain dari cinta...
Namun tidak demikian halnya bagi Yun Su dan Yu Jeong. Kata yang di dalamnya terkandung makna cinta, kasih sayang, perlindungan itu justru tidak ada dalam kamus mereka. Mereka berdua tidak pernah merasakan hangatnya kasih ibu, yang katanya sepanjang masa itu.
Sejak kecil, Yun Su sudah hidup terpisah dari ibunya. Ia tinggal bersama ayahnya yang pemabuk dan suka memukul, beserta adik perempuannya yang menjadi satu-satunya penopang hidupnya, Eun Su. Alasan itulah yang membuat sang ibu kabur dari rumah meninggalkan Yun Su dan Eun Su hidup di bawah asuhan ayah mereka yang pemabuk, hingga akhirnya sang ayah bunuh diri dan mereka harus hidup sebatang kara di dunia..
Yun Su selalu membenci takdir. Takdir selalu membawanya kepada sisi terkeras kehidupan dimana hanya ada dua pilihan: Menjadi yang terkuat, atau menjadi kaum tertindas.
Suatu hari, takdir kembali mengkhianatinya dan membawanya kepada penghujung hidupnya. Yun Su didakwa atas pembunuhan tiga orang perempuan, pemerkosaan, dan juga perampokan. Tiga kejahatan berat yang cukup untuk membawanya ke tiang gantungan...
Sementara itu, Yu Jeong adalah seorang perempuan cantik, kaya, dan terkenal yang berasal dari keluarga berada di Korea. Semua mengira ia hidup dalam kesempurnaan. Tak ada yang tahu bahwa ia sangat membenci hidupnya dan sudah mencoba bunuh diri sebanyak tiga kali. Sayangnya, atau justru untungnya, semuanya gagal. Hubungan Yu Jeong dengan ibunya sangatlah buruk, walaupun ia adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, sekaligus juga anak bungsu. Sebuah kejadian membuat Yu Jeong sangat membenci ibunya dan tidak bisa memaafkan perbuatan yang dilakukan ibunya itu...
Hingga suatu hari, di hari percobaan bunuh dirinya yang ketiga, Bibi Monika mendatanginya. Bibi Monika adalah adik ayah Yu Jeong. Ia adalah seorang penganut Katolik yang taat, dan telah membaktikan dirinya sebagai seorang suster yang membantu para tahanan, khususnya mereka para terpidana mati.
Bibi Monika menemui Yu Jeong yang terkapar dan memberikannya pilihan. Tetap ikut rehabilitasi (yang dibencinya) atau ikut Bibi Monika dalam misinya mengunjungi para tahanan. Ia memilih yang kedua.
Dan ketika itulah takdir Yun Su dan Yu Jeong yang tadinya bersebrangan mulai terpilin dan mengikat menjadi satu. Takdir yang selalu mereka benci karena telah mengkhianati mereka. Takdir yang telah membuat mereka menjadi orang yang tidak pernah merasakan kebahagiaan, ataupun perasaan dicintai. Takdir yang selalu mengolok-ngolok mereka seakan ingin berkata bahwa mereka hanyalah manusia lemah yang tak punya kuasa apapun pada permainan nasib...
Mungkinkah kali ini takdir pun kembali mengolok-olok mereka? Tak adakah yang bisa mereka lakukan untuk mengubah takdir? Mampukah mereka saling mengobati luka di dalam hati yang terlanjur parah dan bernanah setelah sekian lama itu?
Aigoo....
Saya masih kebayang sedihnya setelah menutup lembaran terakhir buku ini. Jujur hingga pertengahan cerita saya mengira bahwa saya hanya akan memberi bintang 2 hingga 2,5 untuk buku ini. Nggak nyangka kalau akhirnya saya malah ngasih bintang 4 buat buku ini. Setengah bintang untuk Yu Jeong, dan satu bintang untuk Yun Su Oppa.
Di bagian awal tertulis proses kreatif sang pengarang, Gong Ji-Young ketika menulis buku ini. Ia benar-benar terinspirasi pada para terpidana mati di Korea. Ia bahkan sempat menghabiskan beberapa waktu bersama para suster di dalam penjara dan melihat lebih dekat kehidupan para terpidana itu.
Karena itu saya merasa kagum dengan si pengarang yang melakukan riset luar biasa untuk bukunya ini. Meskipun ketika membaca sampai tengah buku perasaan saya masih datar-datar aja dan ngerasa kalo alurnya nggak jauh beda sama drama-drama Korea melankolis yang mengumbar tangis. Nah, baru deh pas menjelang akhir cerita saya ngerasa nyesek dan tergugu... T^T.
Sebenarnya, ketimbang kisah cinta yang romantis dan mengharu biru, buku ini lebih banyak bercerita tentang memaafkan dan melepaskan. Buku ini menceritakan proses memaafkan orang lain juga tentang melepaskan perasaan dendam yang sudah bercokol lama di dalam diri.
Saya suka bagian kisah Yun Su yang sedikit demi sedikit terkuak melalui "Catatan Biru"-nya. Di bagian khusus buku, yang dicetak dalam kertas gelap di setiap pembuka bab, ini kisah Yun Su membuat saya merasa miris, sedih, dan kasihan pada lelaki itu. Ingin rasanya saya menyentuh pundaknya dan memberikan kata-kata penghiburan padanya. Pengennya sih meluk, tapi bukan muhrim.. xp
Lalu, yang paling bikin saya nyesek adalah ketika membaca bab-bab akhir buku ini. Nyeseknya adalah... Saya harus nahan nangis karena baca buku itu di tempat umum... TT_______TT Kalo baca di rumah, saya pasti udah nangis sesenggukan deh. Dijamin.
Pelajaran hari ini: Jangan bawa buku-buku sedih untuk baca di tempat umum, karena nggak enak banget baca harus nahan-nahan air mata gitu. Hiks..
Suka sekali dengan karakter Yun Su, yang di awal digambarkan sebagai pembunuh sadis yang dengan dinginnya telah menghabisi nyawa tiga orang perempuan tanpa ampun. Bahkan di penjara pun ia masih bersikap kasar hingga akhirnya harus dipisahkan dari tahanan lainnya.
Sedikit banyak juga jadi tahu proses hukuman mati di Korea saat itu, yaitu sekitar tahun 1997-an. Katanya sih sekarang ini sudah dihapuskan, tapi saya juga kurang paham. Rupanya para terpidana mati ini harus menunggu di penjara setelah penjatuhan vonis hingga saat eksekusi tiba. Sayangnya, mereka tidak tahu kapan saat itu akan tiba. Ada yang dipenjara beberapa tahun baru dihukum mati, sementara yang lainnya mungkin tidak harus menunggu lama.
Di Korea, hukuman mati dilakukan ketika musim dingin dengan cara digantung. Mereka tidak tahu kapan pengeksekusian akan berlangsung hingga menjelang hari H. Karena itu, para terpidana ini selalu merasa was was setiap kali musim dingin tiba. Akankah mereka bisa hidup hingga musim semi, ataukah musim dingin ini akan menjadi musim dingin terakhir bagi mereka.
Kini aku mengerti satu hal. Hidup, tetapi seperti mati. Kehidupan yang seperti mati itu tidak bisa disebut kehidupan. Namun, saat merasakan panas setengah mati, lapar setengah mati, itulah yang menunjukkan kehidupan. Saat kita berpikir ingin mati itu juga menandakan bahwa kita hidup karena hal itu hanya bisa dirasakan oleh manusia yang hidup sebagai bagian dari kehidupan mereka. Sekarang aku tak ingn lagi berkata, "Aku ingin mati", tapi menggantinya dengan, "Aku ingin hidup lebih baik".
Satu hal yang mengganggu saya adalah kesalahan penulisan nama-nama tokoh dunia seperti Descartes yang ditulis Dekartz atau Victor Hugo yang ditulis Victor Wigo. Mungkin karena pelafalan Korea nyebutnya itu kali ya? Tapi saya yakin nggak ada tokoh ternama dunia yang namanya Dekartz dan Victor Wigo. CMMIW..
PS. Saya belom nonton filmnya, segera cari abis ini.. Hhmm.. Manganya juga.. TT____TT
Ini ada filmnya? Wow.
ReplyDeleteAku suka bgt quotenya itu.. dan btw, Yun Su beneran melakukan semua yg dituduhkan padanya ya mba?
Btw, ini buku2 terjemahan korea yg sekarang bny bgt di toko buku itu ya? Terjemahannya enak ga? Terakhir dan pertama kali aku baca terjemahan korea aku kurang suka, lumayan kaku rasanya :P
Hehehe.. kasi tau nggak yaa?? xp Ntar spoiler dong..
DeleteIya nih, di toko buku sekarang lagi demam korea banget. Kemana2 banyak banget buku2 berjudul hangul (baik beneran novel korea atau yg ditulis sm org Indonesia). Aku sih baru coba baca yang ini aja, Ky. Terjemahannya bagus. Cukup mengalir, meskipun ada beberapa kesalahan penerjemahan kaya di atas. Dan yg kadang bikin bingung sih alurnya itu. Lagi ngomongin masa lalu, tau2 ke masa sekarang tanpa ada jeda. Tapi, bahasanya cukup oke..
duh bagaimana dong?
ReplyDelete>>Pelajaran hari ini: Jangan bawa buku-buku sedih untuk baca di tempat umum, karena nggak enak banget baca harus nahan-nahan air mata gitu. Hiks..
sepertinya bagus ya...aku belum pernah baca buku yang latar belakang korea samasekali.
Iya, nih.. Gimana ya? ^^;
DeleteAku juga baru pertama kali ini baca buku berlatar Korea, dan Alhamdulillah bagus. Suka juga. Soalnya si penulis ini ternyata udah cukup punya nama di negerinya sana. Lagian ini juga "boleh nemu". Hehehe