Roald Dahl Dan Tongkat Dari Masa Lalu

Boy: Tales of Childhood by Roald Dahl
My rating: 5 of 5 stars

All grown-ups were children first... But few of them remember it...


Ini adalah kali kedua saya menggunakan kutipan di atas. Kutipan dari buku favorit saya, Le Petit Prince, atau The Little Prince. Ya, semua orang dewasa memang anak-anak dulunya. Namun hanya sebagian saja yang mengingatnya. Mungkin karena bagi orang-orang dewasa ini, "dulu" itu ada yang berarti hanya beberapa tahun saja, tapi ada juga yang berjarak hingga jutaan tahun cahaya. Sangat jauh, sangat absurd, dan sangat pantas untuk dilupakan.


Kalau menurut Dunia Sophie, anak-anak adalah seorang filsuf yang alami yang diciptakan oleh alam. Mereka tumbuh dengan rasa penasaran, dan selalu mempertanyakan segala sesuatunya. Berbagai hal baru yang mereka temui, sebiasa apapun itu, adalah hal yang menarik buat mereka. Mereka memandang bumi dengan kaca pembesar, sehingga hal-hal yang biasa terlihat berbeda dan luar biasa.


Berbeda dengan orang dewasa. Kewajiban, pekerjaan tuntutan sosial, norma, dan segala macam hal formal lainnya membuat mereka menjadi sosok yang membosankan. Memandang dunia hanya dengan satu kaca mata, yaitu rutinitas. Terkadang bahkan mereka nggak tau apa yang sedang mereka lakukan. Duduk diam termenung di pinggir pantai sambil menekuri nasib.


Seperti yang dulu pernah saya lihat di sebuah pantai di Yokohama. Sekumpulan sarariman (Englishnya sih salary man atau pegawai lah gampangnya) berjas hitam, berkemeja putih, berdasi hitam, sedang duduk sendirian di pinggiran pantai Yokohama ketika waktu makan siang tiba. Mata mereka menatap ke arah lautan, sambil sesekali menyantap bekal atau membaca surat kabar. Sunyi. Tanpa percakapan. Semua saling terbalut dalam kesendirian mereka. Dalam rutinitas. Dalam kebosanan. Saya saja yang melihatnya sampai bosan sendiri. Hohohooo..


Jadi buat saya, orang dewasa yang masih mengingat dengan jelas kekanak-kanakannya adalah orang dewasa yang luar biasa. Karena mereka mampu mengingat setiap detail perasaan itu, membawanya hingga dewasa, dan menceritakannya kembali. Orang-orang dewasa yang seperti itu biasanya adalah orang-orang yang menyenangkan, pandai, dan juga imajinatif. Ya, seperti Opa Roald Dahl ini... :)


Di buku "Boy Tales of Childhood" ini, Opa Dahl menceritakan kisahnya ketika masih menjadi bocah ingusan. Kisah di buku memoar ini terbagi menjadi 5 bab utama, yang pertama Papa and Mama, lalu Kindergarten, Llandaff Cathedral School (age 7-9), St Peter's (age 9-13), Repton and Shell (age 13-20).


Di bab pertama, Opa Dahl bercerita tentang ayahnya yang "kabur" dari Norwegia untuk mencari peruntungan di Eropa Barat, hingga akhirnya tiba di Inggris dan berhasil di sana. Lalu tentang keluarga besar mereka, karena si ayah sebelum menikah dengan Mama-nya opa pernah punya istri (yang kemudian meninggal) dan mereka sudah punya dua anak. Lalu dari Mama, lahirlah empat orang anak lagi.


Sedihnya, si Papa meninggal dunia ketika Opa Dahl masih 3 tahun, jadi Mama harus merawat keluarga buesarr mereka seorang diri. Hebatnya, Mama nggak pulang ke Norwegia, padahal di sana ada keluarganya yang akan bantu dia urus semua anaknya. Ia bersikeras untuk tinggal di Inggris, karena mendiang suaminya berpesan bahwa anak-anaknya harus bersekolah di sekolah Inggris, karena pendidikannya yang terbaik di Eropa. Dan Papa pasti menangis di alam kubur sana kalau tahu anak lelakinya diperlakukan seperti itu... :'(




Cerita yang disajikan dalam buku memoar ini sangat sangat menarik. Saya seolah bisa merasakan kakek saya sendiri yang bercerita tentang kehidupannya dulu di hadapan saya. Kenakalan masa kecilnya, ketika menaruh bangkai tikus ke dalam kendi berisi penuh permen di sebuah toko permen, yang berujung pada pukulan dengan tongkat pada pantat dan kakinya.

Lalu, kisah ketika ia dituduh berbohong dan menyontek di sekolah berikutnya (Mama langsung memindahkan opa dari sekolah pertama ketika tahu anaknya dipukul pakai tongkat), padahal dia cuma mau minjam alat tulis ke teman di sebelahnya. Akibatnya, opa dapat nilai paling buruk, dipanggil ke ruang kepala sekolah, dan lagi-lagi... harus kena pukul pakai tongkat... Sayangnya, kali ini Mama nggak tahu, karena Opa sekolah di asrama, dan... setiap surat yang dikirimkan ke rumah pasti ketahuan isinya oleh kepala sekolah, melalui sistem cerdik dan licik yang diterapkannya...


Lulus dari sekolah dasar Opa pun melanjutkan ke sekolah menengah di Repton. Sama seperti sebelumnya, sekolah kali ini pun tampaknya asrama. Ada prefek di masing-masing asrama (mirip HarPot yah >v<), yang namanya Boazer. Daripada disebut pemimpin, Boazer ini lebih cocok disebut preman asrama. Soalnya, mereka suka seenaknya nyuruh murid-murid lainnya, dan suka memberi mereka hukuman yang nggak masuk akal. Misalnya nih ya, Opa Dahl yang nggak sengaja dateng telat waktu si Boazer manggil seluruh murid dikasih hukuman harus menghangatkan dudukan WC si Boazer selama musim dingin!!! =___= What kind of punishment is that?! O.o


Belum lagi si kepala sekolahnya, yang dari semua kepala sekolah di buku ini, kayaknya adalah yang terburuk. Sama seperti dua kepala sekolah sebelumnya. Si kepala sekolah ini juga doyan menghukum murid-muridnya pake tongkat. Buruknya lagi, sambil memukul dia akan menceramahi mereka soal tata krama dan lain sebagainya. Dan tambah buruk lagi, sebelumnya seluruh murid mendengarkan khotbah darinya tentang memaafkan dan pengampunan.


Opa sampai meragukan Tuhan karena si kepala sekolah-kepala sekolah brengsek ini. Padahal, mereka kan hanya oknum aja... Meskipun emang jumlah orang baik sama orang jahat di dunia ini memang berbanding terbalik sih. Ya, kalo nggak gitu surga penuh dong.. #eh #ngaco


Ngerti banget dengan perasaan miris Opa melihat sistem pendidikan di Inggris saat itu yang ternyata penuh dengan hukuman fisik. Belum lagi tindakan semena-mena dari para senior yang merasa sok berkuasa itu. Hhhmm.. Di semua tempat ada juga kali yaa...


Satu hal penting yang saya pelajari dari buku ini adalah: Kepala sekolah macam Dumbledore itu cuma ada di dunia Harry Potter aja.. xD


Oh, tambah satu lagi ketika Opa Dahl pura-pura kena usus buntu biar bisa pulang ke rumah, dokter di dekat rumahnya langsung tahu kalo dia bohong. Tapi pak dokternya baik, dia membiarkan Opa berpura-pura, karena waktu itu dia memang benar-benar homesick, karena baru pertama kalinya berjauhan dari keluarga besarnya. 

Terus, saya jadi berpikir kalau dokter yang waktu itu meriksa saya emang nggak salah xD. Bukannya nggak percaya sih, tapi waktu itu perut saya sakit dan mual-mual, lalu ke dokterlah saya. Kebetulan karena bapak saya PNS, saya pun ke dokter kantor bapak, biar gratis gitu. Setelah diperiksa, dokternya langsung nyuruh ambil obat tanpa jelasin saya sakit apa. Baru deh pas saya tanya, dibilangnya radang usus. Heuheuu.. Sikapnya si bu dokter ke saya ini loh yang bikin saya jadi rada-rada meragukan diagnosanya. Hehee.. 

Imajinasi saya cukup mengembara ketika membaca cerita ini. Entah kenapa, saking mengembaranya sampe-sampe nyangkut di cerita Battle Royale. Saya baru nonton filmnya sih. Tapi, di situ kan terlihat jelas banget kalau murid-murid di sekolah itu udah nggak percaya lagi sama orang dewasa. Mereka menganggap orang dewasa sebagai sosok yang nggak bisa dipercaya, plin plan, bahkan musuh. Akibatnya, orang dewasa yang nggak seperti itu menjadi dendam pada anak-anak ini, hingga akhirnya merencanakan permainan mengerikan itu untuk mereka.


Dulu, saya juga berpikir bahwa saya nggak mau jadi orang dewasa. Jadi dewasa itu mengerikan. Ada tanggung jawab yang harus dipikul. Ada peraturan yang harus ditaati. Belum lagi, tanpa sadar mereka sering sekali menyakiti hati anak-anak. Meruntuhkan kepercayaan diri mereka, menghancurkan impian mereka, dan membawa trauma yang terus melekat hingga dewasa, dsb. Seperti Opa Dahl yang hingga berpuluh-puluh tahun kemudian masih merasakan kengerian dan trauma akibat hukuman pukulan tongkat yang diberikan oleh orang paling berkuasa di sekolah, yang seharusnya berindak sebagai pendidik itu...


Tapi nggak mungkin ada hal yang mencegah saya untuk tumbuh menjadi orang dewasa, kecuali kematian. Dan nggak ada yang bisa dilakukan selain berusaha untuk menjadi orang dewasa yang baik, meskipun itu sama sekali nggak mudah. Yah, bagaimanapun juga "Tua itu pasti, dewasa itu pilihan" ya...


Balik lagi ke memoarnya Opa. Saya suka sekali dengan surat-surat yang dikirimkan oleh Opa ke Mama. Mama adalah sosok wanita tegar yang luar biasa di mata saya. Opa juga sangat dekat dengan mamanya ini, karena dia adalah anak lelaki satu-satunya (yang dilahirkan oleh Mama. Tapi dia punya anak tiri cowok satu) dan hubungan mereka sangat dekat. Saya benar-benar terharu ketika tahu kalau Mama menyimpan semua surat yang dikirimkan Opa, sejak mulai tinggal di asrama pertama kali, di usia 9 tahun, hingga ketika ia bekerja di Afrika selama bertahun-tahun.


Ketika kisah ini ditutup dengan foto hitam putih Mama, tanpa sadar mata saya berkaca-kaca. Terlihat sekali kalau Opa Dahl sangat mencintai Mama-nya. Apalagi, mereka berdua ternyata sangat sangat mirip. :') #terharuu


Dan... Untuk yang terakhir... Buku ini semakin mengukuhkan posisi Opa Roald Dahl sebagai salah satu penulis favorit saya... :)


View all my reviews

Comments