Atheis



Atheis
by Achdiat K. Mihardja
My rating: 4 of 5 stars

Kabarnya ada orang-orang yang mengira bahwa "Atheis" adalah karya yang mempromosikan cara pikir untuk tidak mempercayai Tuhan dan menyarankan orang-orang untuk menghindari membacanya. Padahal, justru sebaliknya, "Atheis"menyampaikan kebingungan pemuda Muslim di awal abad 20 yang harus berhadapan dengan gelombang pemikiran Barat.

"Atheis" menampilkan kehidupan Hasan, seorang pemuda yang dibesarkan dalam lingkungan keislaman yang sangat taat dan ayahnya adalah seorang pengikut tarekat. Mungkin banyak di antara kita yang memiliki anggapan buruk terhadap tarekat dan mungkin saja hal seperti yang dialami Hasan lah yang membuat salah satu anggapan buruk itu muncul saat ini. Padahal, tidak semua tarekat seperti itu dan simplifikasi justru membuat kita tidak paham hakikat sebetulnya dari hal itu.

Di awal abad 20, Indonesia sedang berada di bawah penjajahan Belanda. Bukan hanya fisik saja yang dijajah, tapi pemikiran-pemikiran Barat pun menjajah fikiran kita. Pemikiran-pemikiran modern itu membuat kita gamang berhadapan dengan agama, apalagi agama dianggap tidak mampu menjelaskan secara rasional pertanyaan-pertanyaan yang penting dalam kehidupan manusia, seperti mengenai Tuhan, manusia, alam, keadilan, kebebasan, atau kebahagiaan.

Pergolakan pertama Hasan dimulai ketika ia diminta untuk menjalankan segala tradisi yang diajarkan oleh tarekatnya, tanpa ada penjelasan. Kemudian pergolakan itu bertambah ketika Hasan bertemu dengan kawan lamanya, Rusli di Bandung. Hasan terkejut melihat perubahan pemikiran Rusli, yang kini ke arah sosialis dan menolak keberadaan Tuhan. Hasan yang awalnya gigih ingin mengajak Rusli kembali ke jalan yang lurus justru terbawa pemikiran Rusli. Apalagi, ia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis Rusli tentang keyakinan yang dianut Hasan selama ini. Sebenarnya ada satu faktor lagi yang membuat Hasan semakin mudah terbawa pemikiran Rusli yang tampak begitu logis itu. Ia adalah Kartini. Sorang perempuan muda cantik nan mandiri dan berpemikiran modern. Hasan melihat sosok gadis yang pernah dicintainya dulu dalam diri Kartini, sehingga ia selalu mencari jalan untuk dapat bertemu Kartini lagi, yang merupakan kawan dari Rusli. Sementara itu, jika ia bertemu dengan Rusli, maka Rusli akan dengan tekun mengajaknya berdiskusi dengan cara yang begitu halus dan persuasif sehingga Hasan mempertanyakan kembali apa yang selama ini diyakininya.

Berkawan dengan Rusli dan Kartini membuat Hasan mengenal satu sosok bernama Anwar. Jika Rusli berdiskusi dengan gaya yang persuasif dan simpatik, maka Anwar adalah seorang seniman yang menggebu-gebu. Anwar berada di satu sisi ekstrim pemikiran sosialis. Ia adalah seorang komunis. Anwar dapat dikatakan sebagai tokoh antagonis yang kehadirannya menimbulkan konflik dalam diri Hasan. Baik dengan hubungannya dengan diri dan fikirannya, dengan Kartini, maupun dengan keluarganya.

Anwar adalah sosok yang menurut saya sangat kontradiktif. Ia menyerukan kesetaraan tapi selalu bersikap semena-mena kepada orang yang lebih rendah darinya. Ia menyerukan kebebasan kepemilikan, tapi tak suka jika miliknya diambil orang. Ia mengajak orang untuk bebas berfikir tapi tak begitu terima dengan orang yang fikirannya berbeda dengan dia. Dan Anwar memiliki privilege untuk melakukan itu semua, karena ia adalah seorang anak bangsawan. Jika ia tidak memiliki status semacam itu, saya juga ragu apa ia masih berani bertindak seenaknya semacam itu. Mungkin Pak Achdiat memang bermaksud menyampaikan kontradiksi itu sebagai kritiknya terhadap pemikiran ini.

Perubahan karakter Hasan, yang awalnya begitu taat dan sholeh hingga akhirnya terpengaruh pemikiran Barat dan meninggalkan semua hal yang dulu diyakininya disampaikan dengan sangat menarik. Dua hal yang begitu kontras ditampilkan tanpa perlu menggunakan kata-kata yang lugas. Puncak konflik terjadi ketika Hasan mengajak Anwar (padahal sesungguhnya ia tdk gitu suka sama lelaki itu, krn dia tertarik juga sama Kartini) ke kampung halamannya. Di situlah puncak pergolakan batin Hasan atas segala hal yang diyakininya. Dan segala hal yang diragukannya seakan diucapkan melalui mulut Anwar. Namun, apa yang disampaikan Anwar itu sesungguhnya ditolak lagi oleh batin kecilnya. Sayangnya, penolakan itu tak sampai diteruskannya ke dalam sebuah pencarian mencari kebenaran dan dibiarkannya hidupnya berada dalam ketenangan dan kebahagiaan semu.

Sesungguhnya, ketika saya membaca ini, saya merasa agak terkejut karena pertanyaan dan hal-hal yang disampaikan Rusli ternyata bukanlah hal baru. Saya bisa melihat pertanyaan dan diskusi semacam itu dilakukan oleh kawan-kawan saya di kampus dulu. Ternyata kebingungan yang dialami oleh kita sekarang ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh kakek ataupun kakek buyut kita dahulu.

Pertanyaan yang kritis adalah hal yang diperlukan. Dan tampaknya, tak sedikit manusia yang setelah mencapai usia kedewasaan, dalam titik tertentu mempertanyakan kembali apa yang selama ini diyakininya. Namun, apakah pertanyaan-pertanyaan dan argumentasi yang dikeluarkan oleh Rusli maupun Anwar itu, tidak ada jawaban logisnya dari sisi agama? Khususnya di sini agama Islam. Guru saya pernah berkata bahwa kita harus beragama dengan yakin. Yakin itu artinya tak menyisakan celah untuk keraguan. Jika kita mencari dengan tekun, jawaban itu sebenarnya ada dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu sebenarnya sudah ditanyakan sejak ribuan tahun lalu dan sudah didapatkan pula jawabannya sejak ribuan tahun yang lalu. Meski demikian, memang ada jawaban-jawaban yang memerlukan penyesuaian karena adanya perubahan dalam filsafat Barat saat ini.

Saya ingat suatu waktu pernah mengikuti kuliah umum oleh seorang ahli filsafat Islam dari Turki. Beliau mengatakan bahwa perjalanan diri setiap manusia itu laksana menyusuri sebuah terowongan panjang yang gelap, seorang diri. Saya kemudian membayangkan bahwa bisa saja selama perjalanan itu kita menemukan cahaya-cahaya, yang meski dapat menerangi tapi hanya sementara. Mungkin juga ada cahaya-cahaya palsu yang kita anggap asli karena kita tidak tahu seperti apa yang asli. Namun, jika kita terus berjalan menyusuri, kita akan sampai pada ujung terowongan dan menemukan cahaya mentari. Cahaya mentari itulah ibarat kebenaran dan jawaban yang hakiki dan ketika kita sudah mendapatkannya, maka cahaya-cahaya yang lain (apalagi yang palsu) sudah tidak akan diperlukan lagi.

View all my reviews


Comments