Me Before You

 

Me Before You (Me Before You, #1)Me Before You by Jojo Moyes
My rating: 4 of 5 stars

Sebagai seorang pengguna setia Goodreads, saya tentu sudah tidak asing lagi dengan buku ini. Buku ini sering sekali berseliweran di timeline Goodreads saya. Banyak teman-teman Goodreads saya yang membaca dan mereview buku ini. Banyak di antara mereka yang memberi bintang empat atau lima dan memberikan review yang positif. Tapi, apakah itu kemudian membuat saya tergerak untuk membaca buku ini? Tentu tidak. Saya pikir, buku ini akan sama seperti buku-buku romens lainnya.

Sampai beberapa tahun yang lalu, saya mendengar kalau buku ini akan difilmkan. Dari situ saya baru tahu kalau buku ini bukan cerita romens biasa, tapi ada kisah penyandang disabilitas di dalamnya. Lalu tak lama kemudian, ramailah kontroversi mengenai filmnya di negara Barat sana. Muncul penolakan dari para penyandang disabilitas karena film ini dianggap menampilkan citra yang negatif pada mereka dan pro-bunuh diri. Padahal, selama ini mereka berusaha untuk menampilkan citra yang lebih positif terhadap kehidupan mereka....

Dan, dari situlah juga saya tahu kira-kira akhir buku ini akan ke mana.... Ya, nasib baca belakangan dan filmnya sudah ngetop, jadi pasti kena spoiler sana sini. Oh iya, buat yang belum baca, mungkin sebaiknya hindari baca review ini, soalnya kayaknya akan banyak spoilernya.

Sebenarnya, saya baru mulai merasa tertarik pada buku ini setelah tahu kalau kisahnya berkutat pada penyandang disabilitas. Meskipun tidak ada keluarga atau teman dekat saya yang bernasib seperti Will, tapi kehidupan saya tidak terlalu jauh dari mereka. Mungkin karena ibu saya guru SLB, jadi saya sering juga bertemu dengan penyandang disabilitas. Tapi tentu yang saya temui memiliki spektrum yang berbeda dengan Will.

Dan saya yakin, Will pasti tidak senang kalau mendengar orang bicara seperti saya ini, karena ia tidak pernah mau menerima kenyataan tentang dirinya setelah ia menjadi penyandang disabilitas. Ia merasa malu, marah, dan tertekan dengan dirinya yang baru. Ia merasa berbeda dan tak ada hal baik yang terjadi pada dirinya sehingga ia mencoba untuk membunuh dirinya. Setelah percobaan itu gagal, ia mendesak kedua orangtuanya agar iadieuthanasia karena kalau tidak, ia akan mencoba untuk bunuh diri lagi. Ia merasa tidak lagi memiliki pilihan dan mati atalah satu-satunya pilihan yang dapat dibuatnya.

Meskipun, tentu saja itu tidaklah benar. Meski pilihan-pilihan fisik yang bisa dibuatnya sangat terbatas, tapi ia masih bisa membuat pilihan lainnya. Di sini saya setuju dengan salah satu reviewer yang mengatakan kalau Will sebenarnya telah banyak membuat pilihan untuk dirinya, seperti memilih bersikap baik atau buruk kepada Lou, memilih untuk "menyingkirkan" kekasihnya yang kemudian menikah dengan rekan kerjanya, dan kemudian memilih untuk datang ke pernikahan itu bersama Lou, juga memilih pergi ke Mauritius bersama Lou dan Nathan. Ada banyak pilihan yang telah ia buat dan sebenarnya ada banyak lagi pilihan-pilihan yang bisa dia buat.

Memilih untuk mati di waktu yang telah dipilihnya bukanlah satu-satunya pilihan yang dapat ia kontrol sepenuhnya karena ada juga orang-orang yang memilih untuk bunuh diri tapi kemudian tidak mati atau tidak langsung mati. Meskipun kita merasa berkuasa dan berkehandak atas pilihan itu, tapi kenyataannya kita tidak memiliki kekuatan sebesar itu karena masih ada faktor-faktor lain yang menentukan apakah pilihan itu akan berhasil terjadi atau tidak.

Jika Will begitu "ngotot" untuk bisa membuat pilihan agar ia bisa merasakan kontrol atas dirinya, maka Lou sebaliknya. Kehidupannya yang sulit membuatnya terbiasa untuk tidak memiliki banyak pilihan dalam hidupnya. Ia tidak bisa memilih ketika terpaksa diberhentikan kerja secara sepihak di cafe yang telah mempekerjakannya selama bertahun-tahun karena pemiliknya akan menutup cafenya dan pulang kampung ke Australia. Ia juga tidak bisa memilih ketika harus tidur di kamar yang sempit karena adiknya Treena hamil di luar nikah sehingga harus drop out dari universitas dan kamar yang ditempatinya kini ditempati oleh adik dan keponakannya. Lou juga tidak punya pilihan ketika menerima pekerjaan di tempat keluarga Traynor untuk merawat Will selama enam bulan karena ayahnya akan terancam di-PHK dan dia juga tidak punya pilihan ketika menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Lou baru bisa membuat pilihan-pilihan besar untuk hidupnya ketika ia mengenal Will untuk kemudian harus merasakan hancur karena pilihan Will membuatnya dihadapkan pada kebuntuan pilihan lagi.

Memutuskan pilihan memang perkara yang sulit karena itu dapat mengubah kehidupan kita. Jika hanya kehidupan kita saja yang berubah, mungkin konsekuensinya tidak akan terlalu berat. Setidaknya kita hanya bertanggung jawab kepada diri kita sendiri. Tapi, jika pilihan kita akan mengubah hidup orang lain juga, apalagi jika orang itu adalah orang terdekat kita yang kita sayangi dan cintai, sejauh mana kita akan bertahan pada pilihan itu?

Di sinilah saya merasa Will begitu egois karena tidak memikirkan lagi pilihannya, setidaknya setelah ia bertemu Lou. Namun, saya juga berusaha berempati dan memahami jalan pikiran Will. Kehidupan Will yang begitu sempurna memang luluh lantak setelah kecelakaan itu terjadi. Ia kehilangan banyak hal. Bukan hanya menjadi lumpuh dan hidupnya harus bergantung kepada orang lain selama 24 jam, tapi ia juga kehilangan karir yang gemilang, pacar yang cantik, dan tidak bisa lagi melakukan hobinya yang berkaitan dengan fisik.

Tampaknya segala hal yang indah dalam kehidupan Will sebelumnya memang hanya berkaitan pada hal-hal fisik dan material sehingga ketika itu hilang, ia merasa hidupnya tak bermakna lagi. Ia merasa dirinya menjadi tiada. Sepertinya, Will memang belum menemukan siapa dirinya yang sesungguhnya karena seharusnya diri sejati kita tidak akan hilang meskipun fisik kita berubah. Apa yang ada di dalam kita tetaplah sama meskipun bagian luar kita berubah. Jiwa kita tidak berubah meskipun tubuh kita berubah. Will yang cerdas ternyata tidak bisa melihat apa yang ada di luar batas fisiknya padahal Louisa yang mengenal Will setelah kecelakaan tahu banyak kelebihan Will yang di luar batas fisiknya. Lou dapat melihat bahwa Will adalah pribadi yang menarik (bukan hanya bagi dirinya), meski Will tidak dapat melihatnya.

Tapi saya tidak menyalahkan Will yang berpikir seperti itu karena ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang materialistik. Tampaknya keluarga Traynor menganggap tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan dengan uang. Keluarga Traynor adalah kebalikan keluarga Clark yang secara materi kekurangan banyak hal. Keluarga ini memang cukup bikin saya geleng-geleng kepala. Apalagi adiknya Will. Saya sungguh merasa geregetan dengan adik perempuan Will yang tetap dapat menjalani kehidupannya di Australia meski tahu kakaknya memutuskan untuk mati enam bulan lagi. Meski keluarga mereka dalam kondisi yang sangat berat. Dia bilang dia tidak bisa mengorbankan kehidupannya untuk Will. Ya ampuunn!!! *tepokjidat* Dia menganggap Will egois karena membuat orangtua mereka harus memilih "membunuh" anaknya padahal dia sendiri juga nggak melakukan apapun untuk Will atau untuk keluarganya!

Saya juga kaget dengan ibu Will yang menyetujui perkataan anak perempuannya, bahwa jika hal yang sama terjadi pada si adik, maka dia juga nggak bisa meminta Will untuk meninggalkan hidupnya. *mata juling* Ayah Will juga sama. Dia bertahan di keluarga itu karena merasa bertanggung jawab pada Will padahal dia sudah berniat pisah dengan istrinya tepat sebelum kecelakaan itu terjadi. Ia merasa satu-satunya cara bisa bebas adalah dengan kematian Will.

Ketika Lou khawatir adik Will akan menggugat atau mencecarnya karena tidak berhasil membuat Will mengubah pikirannya, saya pikir si adik nggak punya hak untuk melakukan itu karena dia nggak melakukan apa-apa?! Ya ampun, saya beneran paling sebel sama si adik ini yang cuma nongol dua kali di buku. Di awal ketika dia tahu Will memutuskan untuk euthanasia (itupun nggak dicertiakan interaksinya dengan Will dan langsung balik lagi ke kehidupannya di Aussie) dan di akhir, di hari Will memutuskan untuk mati. Ibunya Will agak mendingan meski dia juga nggak tahu cara menunjukkan kasih sayang selain lewat hal-hal yang bersifat materi seperti uang. Berbeda jauh dengan ibu Lou yang akan melakukan apapun untuk melindungi nyawa orang-orang yang dicintainya.

Jadi, wajar saja kalau referensi kebahagiaan Will hanyalah yang bersifat materi karena ia tidak pernah melihat orang lain yang kekurangan materi, hidup dengan bahagia. Wajar juga jika dia menganggap dirinya sebagai beban bagi orang yang disayanginya dan hidupnya menjadi tak berarti karena ia tidak bisa lagi merasakan kenikmatan-kenikmatan fisik yang sebelumnya bisa dia rasakan.

Meski wajar, tapi saya juga merasa sebel sama Will ketika dia memberikan warisannya kepada Louisa. Will bilang kalau uang itu bukan dimaksudkan supaya Lou merasa sedih, berhutang, atau sebagai tanda peringatan (kematiankah?) tapi karena Will merasa bahwa tidak ada yang bisa membuatnya bahagia kecuali Lou. Jelaslah kalau Will masih menganggap bahwa kebahagiaan diukur dari materi. Bahwa uangnya dapat membuat Lou hidup bahagia meski tanpa dirinya.

Padahal, mana mungkin Lou bisa merasa bahagia menggunakan uang yang didapat dari kematian kekasih yang dicintainya. Padahal, yang Lou inginkan bukanlah uang Will tapi keberadaan Will di sisinya. Uang Will mungkin cukup untuk mengatasi permasalahan finansial Lou (yang diusir oleh ibunya karena ia memilih menemani Will di saat terakhirnya), tapi bagaimana dengan permasalahan kejiwaannya? Bagaimana dengan luka besar di hati Lou karena ditinggalkan oleh orang yang dicintainya?

Tapi, meskipun begitu saya tidak bisa membenci Will. Bukan karena dia tampan, memesona, dan kaya raya tapi karena dia adalah sosok yang patut dikasihani sebagai seorang manusia. Seandainya dia mau melihat lebih luas dan merenungi lebih dalam lagi mengenai apa itu hidup dan kebahagiaan, mungkin dia akan bisa berdamai dengan dirinya dan kenyataan hidupnya dan bisa hidup dengan lebih bahagia. Seandainya dia mau memberi dirinya sedikit lagi waktu untuk berpikir dan merenungi hidupnya setelah bertemu Louisa, mungkin dia akan menyadari kalau kebahagiaan itu bisa melampaui batas-batas fisik belaka....

View all my reviews

Comments