Solanin

 


Solanin, Tome 1 by Inio Asano
My rating: 4 of 5 stars

Malam itu sama seperti sebelum-sebelumnya. Kota Jakarta masih sama ramai, sama macet, dan selalu penuh kesibukan dari orang-orang yang hidup di dalamnya. Kami bertemu di tempat biasa dan seperti biasa pula, saya harus menunggunya hingga selesai bekerja. Tak jarang saya harus menelan kecewa, karena dia membatalkan janji bertemu lantaran harus bekerja. Tapi apa boleh buat, ini risiko pekerjaan saya sebagai seorang guru privat. Guru privat Bahasa Indonesia untuk ekspatriat Jepang yang seringnya sibuk luar biasa.

Untungnya, malam itu kami bisa bertemu. Saya mengajar dan dia mencatat dengan tekun setiap kata Bahasa Indonesia di dalam iPad-nya. Entah apa yang kami perbincangkan, hingga akhirnya sampai kepada pembicaraan berikut.

"Kenapa Anda tertarik pada filsafat?"
"Karena saya ingin tahu jawabannya."
"Jawaban atas apa?"
"Kenapa saya harus bekerja setelah lulus kuliah."
"Memangnya, apa cita-cita Anda?"
"Saya sebenarnya ingin menjadi ilustrator buku anak. Mau lihat, nggak? Ini hasil desain saya," ujarnya antusias sambil menyodorkan iPadnya. Di dalamnya terlihat foto sebuah rumah bermain dengan ilustrasi kelinci yang berwarna-warni ceria.
"Wah, bagus banget!" seru saya.
Dia terlihat bangga.

Kami kemudian terdiam.

"Lalu, apakah Anda sudah menemukan jawabannya? Kenapa Anda harus bekerja?"
"Tidak. Saya tidak menemukannya. Mungkin sampai mati saya tidak akan menemukan jawabannya," tuturnya.

Pembicaraan kami di malam itu membuat saya merenung mengenai banyak hal. Sebagai orang Jepang, jalan hidup mereka seperti sudah ditentukan sejak awal. Masuk SD, lanjut ke SMP, lalu ke SMA, setelah itu kuliah, lalu bekerja. Bekerja. Bekerja. Bekerja. Sampai habis masa muda mereka di sana.

Saya sungguh merasa sedih untuknya. Setelah menuntut ilmu di perguruan tinggi ternama di Jepang, lalu melanjutkan ke jenjang master, hidupnya kini ia dedikasikan hanya untuk pekerjaan. Enam hari dalam seminggu, di atas 12 jam sehari. Kadang-kadang ia memang melakukan hobinya. Diving bersama teman-temannya, untuk melepas stres.

Tapi, apakah ia masih memikirkan cita-citanya? Mungkin hanya malam itu, ketika saya bertanya padanya.... Mungkin setelah ini, akan muncul sedikit kesempatan ketika ia bisa menceritakan mengenai cita-citanya dengan penuh semangat dan mata berbinar-binar. Esok, ia akan kembali pada rutinitasnya. Pada atasan yang harus diikuti perintahnya, pada rekan kerja yang ingin ia hindari, pada ritme kehidupannya yang selalu sama selama satu minggu, satu bulan, satu tahun, entah hingga kapan....

Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya saya merasa sedih melihat kehidupan murid-murid Jepang saya, yang hidup hanya untuk bekerja. Beberapa dari mereka memang merasa puas dengan pencapaiannya, meski saya tidak tahu apakah mereka benar-benar bahagia. Ada juga yang ingin memberontak dan mencari kehidupan yang lebih baik, tapi kini ia pun kembali terperosok ke dalam kehidupan ideal a la orang Jepang yang sama.

Di hadapan saya, terkadang mereka bercerita tentang cita-cita mereka. Tentang keinginan mereka di dalam hidup. Tapi tidak ada yang meninggalkan kepedihan mendalam selain kisah yang di atas.

Membaca "Solanin" mengingatkan saya kepada kepedihan itu lagi. Apakah hidup harus sesulit ini? Apakah kita harus bekerja setiap hari supaya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Apakah kita harus mengejar karir dan gaji yang lebih tinggi setiap tahunnya supaya bahagia? Apakah kebahagiaan dihitung dari banyaknya uang dan materi? Apakah tidak cukup untuk hanya bisa makan dan hidup layak hari ini, tanpa harus memikirkan tentang besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan? Kenapa kita tidak bisa hidup sederhana seperti orang-orang dulu, yang tak perlu berdesak-desakkan di bis, kereta, atau bermacet-macetan di jalan raya, yang tak perlu bekerja setiap hari secara rutin dari pagi hingga petang, yang bisa menjalani hidupnya dengan ringan tanpa dibebani target-target dan angka-angka?

Sebenarnya, untuk apa kita hidup? Untuk apa kita bekerja? Tidak bisakah hidup kita tercukupi dengan melakukan hal-hal yang kita suka?

Pertanyaan-pertanyaan itu tentu tidak mudah dijawab. Apalagi jika kita terlalu disibukkan dengan hal-hal duniawi dan materi, sehingga hal-hal batin sering kita pinggirkan, bahkan kadang kita lupakan bahwa dia ada. Akibatnya, kita tidak lagi menjadi manusia. Kita seperti sapi di sawah yang bekerja tanpa tahu untuk apa kita bekerja. Kita makan, tidur, bangun, lalu bekerja. Setiap bulan mendapat upah, lalu upah itu habis untuk kehidupan sehari-hari. Hidup kita jauh dari makna. Bahkan kita mungkin merasa tidak memerlukan makna itu sendiri.

Saya sungguh bisa mengerti perasaan Meiko ketika ia memilih keluar dari tempat bekerjanya, karena kurang lebih itulah alasan saya keluar dari tempat kerja pertama saya. Saya tidak menemukan makna dalam kehidupan saya. Saya tidak menemukan kebahagiaan di sana. Saya selalu merasa berat untuk bangun di pagi hari dan ingin menangis setiap mau bekerja (untungnya Meiko nggak selebay saya, sih. Hahaha). Dan saya sungguh-sungguh merasa lega setelah berhenti. Saya kemudian punya waktu untuk bertanya lagi kepada diri saya, apa yang benar-benar ingin saya lakukan. Apa hal yang membuat saya bahagia dan membuat saya bermakna. Apa pekerjaan yang dapat membuat saya bersyukur setiap hari tanpa merasa berat melakukannya. Apa yang membuat saya dapat bermanfaat bagi banyak orang di waktu saya yang sedikit di dunia ini.

Aku lapar, tapi masa bodoh. Bulu hidungku keluar, tapi masa bodoh. Aku tidak punya hati, tapi masa bodoh. Ada perang dan bencana alam di suatu tempat di luar sana dan banyak orang mati, tapi asal aku bahagia, masa bodoh.


Itulah yang ada di pikiran Meiko ketika ia masih menjalani pekerjaannya. Ia begitu skeptis pada kehidupan. Ia tidak menyukai pekerjaannya, tapi tidak juga membencinya. Ia tidak tahu apa yang disukainya dan tidak punya cita-cita. Jika tidak ada Taneda dan sahabat-sahabatnya di sisinya, mungkin ia akan tersesat lebih dalam dan semakin tak memiliki hati...

Ah, Taneda.... Pedih rasanya setiap mengingat dia. Dia adalah kekasih Meiko sejak mereka masuk universitas. Selepas lulus, ia tinggal bersama Meiko di apartemen Meiko. Ia adalah seorang freeter, orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan hanya bekerja sambilan. Guru saya di Jepang dulu pernah berkata, freeter itu biasanya adalah orang yang punya cita-cita di bidang seni atau musik, dan sambil menunggu cita-citanya tercapai, ia bekerja sambilan untuk memenuhi kehidupannya.

Ya, seperti itulah Taneda. Ia suka musik dan memiliki band dengan teman-teman kuliahnya, Katou dan Billy, yang juga sahabat Meiko. Sayangnya, ia tidak memiliki keberanian untuk melangkah maju ataupun mundur, karena tidak yakin musiknya dapat diterima oleh industri musik saat ini dan dapat menghidupi dirinya. Atas dorongan Meiko, ia akhirnya memberanikan dirinya untuk maju. Ia pun menulis sebuah lagu berjudul "Solanin" yang kemudian ia rekam bersama kawan-kawan bandnya untuk dikirimkan ke perusahaan-perusahaan rekaman. Namun sayangnya, hanya satu perusahaan yang menerima, itupun dengan syarat yang tidak sesuai dengan visi band mereka. Lalu kemudian, sebuah tragedi menimpa kehidupan mereka....

Meskipun diterbitkan 12 tahun yang lalu, tapi "Solanin" masih menjadi gambaran pemuda-pemudi Jepang saat ini. Mereka yang bingung setelah lulus kuliah, tidak memiliki keahlian atau cita-cita khusus seperti Meiko, punya mimpi dan cita-cita tapi cita-citanya tidak bisa memberi kehidupan yang layak seperti Taneda, memilih untuk tidak lulus kuliah cepat-cepat karena tidak mau menjadi orang kantoran seperti Katou, punya pekerjaan dan karir yang cukup bagus tapi tidak memiliki gairah kehidupan seperti Ai, atau seperti Billy yang memutuskan menjalankan bisnis keluarganya dan menjalani kehidupan setiap hari tanpa tahu maknanya.

Banyak percakapan dan kalimat-kalimat yang sederhana tapi menohok di dalam manga ini. Jadi, nggak heran kalau dia masuk ke dalam daftar 1001 komik yang harus dibaca. Saya sendiri melihat judul manga ini di dalam buku di atas beberapa tahun yang lalu ketika masih bekerja kantoran. Saya langsung mencatat beberapa judul manga yang menarik perhatian saya. Manga ini pun sebenarnya pernah saya baca beberapa tahun yang lalu, tapi tidak selesai. Kenapa ya, waktu itu? Kayaknya lagi nggak mood berkelam-kelam dan berpedih-pedih ria.

Setelah membaca "Solanin", saya jadi mencari apa maknanya. Ternyata menurut internet, itu adalah racun yang terdapat di dalam bibit kentang. Meskipun racun, tapi ia adalah zat yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan si kentang. Lalu di situlah saya menyadari betapa cerdasnya pemilihan nama kedua tokoh utama, Taneda dan Meiko, karena kanji yang dipakai untuk kedua nama itu sangat berkaitan dengan si racun solanin yang dijadikan judul. Heuheuheuu.... #cryinkanji

Manga ini sukses besar membuat saya mewek setelah beberapa hari sebelumnya saya juga mewek sehabis menonton "Ansatsu Kyoushitsu"... TT___TT

Membaca "Solanin" dan bertemu dengan murid-murid Jepang saya (yang sebagian besar ekspatriat dan sudah dewasa), membuat saya banyak merenung dan bersyukur atas hidup saya. Banyak orang, khususnya pemuda seperti tokoh-tokoh di "Solanin", mengalami kebingungan dalam kehidupan setelah terjun ke masyarakat. Mereka tidak punya pegangan dan panduan apa yang harus dituju. Mereka tidak tahu harus berbuat apa ketika dihadapkan pada masalah. Bingung. Bimbang. Galau. Marah. Sedih.

Untungnya, saya kini tidak bingung lagi. Meski tidak memiliki pekerjaan tetap, yang berarti saya tidak punya penghasilan tetap, dan kadang suka galau karenanya, tapi kini saya punya visi hidup yang jelas. Saya punya pandangan hidup yang terang, yang saya percaya akan menuntun saya ke arah yang benar.

Pada akhirnya, kita semua hanya ingin bahagia...

Tapi, jenis kebahagiaan yang saya inginkan berbeda dengan para tokoh di "Solanin" dan juga murid-murid saya. Karena kebahagiaan yang saya inginkan menembus batas ruang, waktu, dan dunia. Saya ingin kebahagiaan yang abadi. Di sini dan utamanya di kehidupan nanti.

View all my reviews

Comments