The Hardy Boys: Memburu Emas Terpendam
My rating: 2 of 5 stars
Inilah buku petualangan Hardy Bersaudara yang saya baca. Bercerita tentang kakak beradik, Frank dan Joe, yang membantu ayah mereka, seorang detektif terkenal bernama Fenton Hardy, dalam mengungkapkan kasus perampokan dan perburuan emas.
Dari awal, pembaca sudah disuguhi oleh alur yang sangat cepat. Dimulai dari Frank dan Joe yang sedang berkemah dengan teman-temannya, terus ujug-ujug disuruh nyamperin bapake di Lucky Lode. Setelah itu mereka ketemu seorang lelaki tua bernama Mike Onslow, yang terluka karena kena peluru nyasar. Kebetulan! Soalnya, Hardy bersaudara ini disuruh oleh ayah mereka untuk mengawasi si Onslow.
Mike Onslow ternyata dulunya adalah penambang emas, bersama tiga orang temannya. Ketika mereka berhasil mendapatkan emas di tambang yang mereka gali, ternyata seorang penjahat bernama Black Pepper (yummy... #eh xp) ingin merebut emas mereka. Jadilah, salah seorang teman Onslow bernama Bart Dawson disuruh untuk membawa kabur emas itu dengan pesawat mereka, hingga mencapai tempat yang aman. Ketika emas itu sudah ada di luar jangkauan Burakku peppaa (pake logat jepang ceritanya #ups), emas itu akan dibagi rata berempat. Sayangnya, Dawson kemudian hilang tanpa jejak. Entah pesawat yang dibawanya mengalami kecelakaan dan dia mati dalam prosesnya, atau emas itu justru dibawa sendiri oleh Dawson untuk kepentingannya....
Tugas Frank dan Joe-lah untuk mencari tahu itu, sekaligus membantu ayah mereka, menemukan penjahat bernama Al Besar yang telah mencuri uang milik Bob Dodge. Ayah Frank dan Joe ternyata terluka dalam pengejaran Al Besar, jadi dia harus bed rest deh. Dan, dimulailah petualangan Frank dan Joe mendaki gunung lewati lembah dengan sungai es, demi menangkap Al Besar dan komplotannya.
Berhasilkah mereka? Apakah hubungan Al Besar dengan emas milik Mike Onslow?
Seperti yang saya bilang, alurnya cepet banget di awal-awal. Bat-bet-bat-bet. Dari hutan pindah ke bandara, dari bandara mereka diculik masuk ke rumah komplotan penjahat, dari situ mereka kabur naik taksi, eh taksinya punya penjahat juga. Akhirnya bisa kabur dari taksi penjahat, bisa naik pesawat sampe tempat si bokap, terus diancam pas mau naik helikopter, terus sampai di Lucky Lode, terus tiba-tiba mereka bisa nguping pembicaraan komplotan Al Besar, terlibat perkelahian satu lawan satu melawan salah satu penjahat paling berbahaya, dan yah... banyak petualangan yang menantang adrenalin lainnya.
Terus, kenapa ada "yah"-nya?
Hhmm... Kenapa ya? Mungkin karena saya nggak terlalu menikmati petualangan si Frank dan Joe ini. Saya ngerasanya kok, aneh banget gitu. Dua bocah ingusan (yah, yang satu udah 17 tahun sih...) melawan penjahat paling berbahaya di wilayah itu hanya dengan kekuatan mereka berdua. Ciyus ini loh...
Saya juga merasa tindakan mereka sangat gegabah untuk ukuran detektif. Mereka lebih mementingkan menangkap penjahat, dibandingkan keselamatan diri mereka sendiri, dan juga orang-orang terdekat mereka. Entah berapa kali si Frank dan Joe ini hampir mati gara-gara tindakan mereka itu. Dan itu nggak cantik untuk ukuran cerita detektif, menurut saya. Harusnya kan mereka lebih berhati-hati, apalagi mereka sudah tahu betapa berbahayanya gerombolan penjahat yang mereka kejar kali ini. Pede banget kalo mereka menganggap diri mereka bisa berhasil meringkus bos penjahat cuma berdua aja. Padahal pak pulisi sama bapake aja gagal gituh...
So, yeah... I didn't enjoy this story... I still prefer "Lima Sekawan" than this "Hardy Boys". Soalnya di "Lima Sekawan" masih alurnya itu masih jelas, ada deskripsi-deskripsi latar, waktu, suasana, yang bikin saya mampu membayangkannya. Sedangkan di "Hardy Boys" ini, mungkin karena alurnya terlalu cepat, jadi setiap tempat cuma digambarkan sekenanya saja. Nggak detail. Padahal detail itulah yang menurut saya turut membangun cerita. Misalnya kalo di "Lima Sekawan", saya selalu ngiler sama makanan-makanan mereka, meskipun itu hanya roti dan keju aja. Tapi di "Hardy Boys" ini, saya nggak merasa ngiler sama sekali tuh, padahal mereka berhasil nangkep ikan segede gaban buat makan malem.
Lalu, kalau di "Lima Sekawan", saya bisa membayangkan desa-desa ataupun tempat misterius yang mereka kunjungi, dan suasana misterius itu terbangun dengan baik, satu hal yang agak luput saya rasakan di cerita ini. Eh, maap. Saya jadi bandingin sama "Lima Sekawan" deh. Ya, daripada sama "Lima Sekawin" ga nyambung ntar... #eh Maksud saya sih, soalnya dua cerita ini sama-sama cerita detektip remaja gituh. Kan nggak mungkin dibandingin sama Sherlock Holmes dong?
Oke, oke... Mungkin emang seharusnya nggak dibanding-bandingin kali ya, soalnya kan ini dua cerita yang berbeda. Tapi, mau gimana lagi dong?? Kan emang udah dari sononya manusia, doyan mbanding-mbandingin dua hal yang dia ketahui. Ya udah deh, mungkin emang sayanya aja yang nggak bisa nikmatin cerita jenis beginian. Meskipun saya doyan banget sama cerita detektip-detektipan, yang satu ini kayaknya pengecualian. Heuheuu...
So, dua anak cukup eh dua bintang cukup buat buku ini...
Oh iya, karena review ini mau saya ikutkan ke FYE-nya Bacaan Bzee, jadi saya mau menerawang dulu. Oke, menurut penerawangan saya, buku ini sebaiknya dibaca oleh anak-anak di atas 14 tahun, karena jalan cerita petualangannya yang lebih hardcore dibanding Lima Sekawan. Takutnya, ditiru anak-anak aja getoh.
Ini pertama kalinya saya baca karyanya Franklin W. Dixon. I don't really like it though...
Comments
Post a Comment