Ainun Habibie : Kenangan Tak Terlupakan Di Mata Orang-Orang Terdekat
Cerita
tentang mantan ibu negara RI ini memang tidak banyak didengar. Mungkin karena
ketika suami beliau, B.J. Habibie menjabat sebagai Presiden ke-3 RI, saya masih
kecil. Mungkin juga karena saya ini orang yang tidak peka dengan hal-hal yang
berbau politik. Tetapi, ternyata tidak seperti itu. Ibu Ainun memang tidak
menyengajakan dirinya untuk ikut tenar dibalik nama besar suaminya.
Kita
mungkin sering melihat, orang-orang yang mengekor di balik nama besar dan
ketenaran pasangannya. Entah itu suaminya, istrinya, ataupun orangtuanya.
Dengan bangganya orang-orang ini merasa diri mereka juga “besar” dan patut
disegani, meskipun ketenaran itu bukan milik mereka. Tidak demikian dengan ibu
Ainun. Baginya, nama besar suaminya adalah hal yang dicapai oleh suaminya
sendiri, dan dia cukup berada di belakang layar dan mendukungnya, tanpa perlu
ikut campur segala urusan pekerjaannya.
Salah
satu falsafah hidup yang dipegang erat oleh Ibu Ainun adalah, “The Big You and
The Small I”. Baginya, dalam satu rumah tangga tidak boleh ada dua pemimpin.
Cukuplah suami yang menjalankan tugasnya sebagai pemimpin rumah tangga, pencari
nafkah, dsb. Ia, sebagai seorang istri akan mengambil peranan sebagai pengurus
biduk rumah tangga, pendidik anak-anak, dan penyokong suaminya sepenuhnya.
Terdengar biasa saja? Berarti Anda harus membaca buku ini untuk mengenal lebih
jauh sosok wanita luar biasa ini.
Tapi
baiklah, saya akan beri sedikit bocorannya. Ibu Ainun ini adalah seorang yang
sangat pintar. Setelah lulus SMA, beliau berkuliah di FK-UI Jakarta, sementara
Habibie melanjutkan kuliah di Jerman. Ketika dipersunting Habibie, beliau
sedang bekerja sebagai asisten dokter. Tetapi, karena harus ikut suami ke
Jerman, Ibu Ainun melepaskan profesinya. Di Jerman, jangan kira mereka hidup
makmur dan sejahtera. Gaji Pak Habibie ketika itu sangatlah kecil untuk ukuran
keluarga yang baru mereka bina. Mereka hidup pas-pasan, karena sebagian besar
penghasilan Pak Habibie ditabung untuk masa depan. Apalagi, Pak Habibie perlu
mengasuransikan Ibu Ainun yang sedang hamil. Dan asuransi untuk perempuan hamil
ternyata tidaklah murah, karena harus mempertimbangkan banyak hal.
Akhirnya,
mereka pun pindah dari Aachen menuju pinggiran kota, dimana harga rumah jauh
lebih murah. Tapi, bukan berarti kehidupan mereka jadi lebih baik, karena rumah
baru mereka letaknya sangat jauh dari tempat Pak Habibie beraktivitas, dan
tidak ada teman yang dikenal Ibu Ainun di kota itu. Selain itu, tidak jarang
Pak Habibie harus jalan kaki menuju tempat kerjanya, yang berjarak 15 km!
Karena ketinggalan bus (yang kalau tidak salah hanya ada sehari dua kali) atau
karena harus berhemat. Bahkan, sepatu pak Habibie sampai berlubang karena
terlalu sering dipakai berjalan. Ketika musim dingin menjelang, barulah Ibu
Ainun menambal lubang di sepatu Pak Habibie, agar beliatu tidak kedinginan di
musim itu.
Ketika
itu, Ibu Ainun sebenarnya bisa saja bekerja untuk membantu penghasilan
keluarga. Ia adalah seorang dokter, dan sangat ahli di bidangnya. Dan memang,
beliau akhirnya memutuskan untuk bekerja, tetapi beliau akhirnya berhenti
karena merasa hasil yang beliau dapat dari mencari nafkah, tidaklah sebanding
dengan pengorbanan yang harus diberikannya. Terutama dalam hal pengasuhan anak-anak.
Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin bagi saya untuk bekerja pada waktu itu. Namun, saya pikir buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan risiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang dan saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak? Seimbangkah orangtua kehilangan anak dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu. (Ainun Habibie, Tahun-tahun Pertama. Hal 128)
Masih banyak rangkuman cerita mengenai ibu negara yang satu
ini, di buku Ainun Habibie : Kenangan Tak Terlupakan Di Mata Orang-Orang
Terdekat, yang penulisannya dilakukan oleh Pak A. Makmur Makka,
orang dekat B.J. Habibie yang dulu pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika.
Pak Makka mengumpulkan kisah mengenai Ibu Ainun yang diambilnya dari
orang-orang terdekatnya, dan mengumpulkannya dalam buku ini. Kebetulan saya
datang ketika launching bukunya dan Alhamdulillah mendapatkan tanda tangan
beliau di buku saya. Launching buku ini ternyata memang sengaja diambil momen
pas ketika hari Kartini, karena masih banyak sekali wanita-wanita hebat di
Indonesia yang tidak terekspos ceritanya, salah satunya Ibu Ainun ini, yang
membuat saya berdecak kagum ketika membaca bukunya.
Buku ini juga membuat saya banjir air mata, terutama di bagian yang menceritakan detik-detik terakhir ibu Ainun akan berpindah ke dimensi lain (bahasa yang digunakan oleh Pak Habibie untuk istri tercintanya). Perasaan cinta dan kehilangan suami dan keluarga beliau yang begitu nyata dan mengharukan. Bukan macam sinetron yang terlalu berlebihan mengeskpos kesedihan manusia, tapi sebuah kisah manusiawi tentang orang-orang yang mencintai beliau dan merasa kehilangan karenanya. Saya ingat, pernah ada yang bilang ke saya, bahwa kualitas seorang manusia itu baru terlihat benar-benar ketika dia meninggal. Ada orang yang tidak tenar dan tidak dikenal di dunia. Tetapi, ketika orang tersebut meninggal, banyak orang yang mengantar kepergiannya, turut mendoakannya, merasa kehilangannya (dan bukannya merasa bersyukur karenanya), dan banyak orang yang terinspirasi atas sosoknya...
Ada sedikit hal yang ingin saya ungkapkan, mengenai Pak Habibie yang tidak berkaitan dengan bukunya. Kita sama-sama tahu bahwa beliau adalah Presiden RI ke-3 yang naik setelah Pak Harto turun tahun 1998 lalu. Di masa pemerintahan beliau yang hanya 17 bulan itu, beliau menuai banyak kecaman karena lepasnya Timor Timur dari NKRI. Banyak yang menghujat beliau karena provinsi termuda itu lepas. Bahkan, kalau tidak salah Laporan Pertanggungjawaban beliau tidak diterima karena itu. Padahal, meskipun Timtim lepas dari Indonesia, Pak Habibie berhasil memangkas nilai tukar dolar terhadap rupiah yang ketika itu katanya mencapai level 17 ribu ke angka 9 ribu!! Sebuah prestasi yang menurut saya hanya bisa dilakukan oleh beliau yang sayangnya tidak diingat oleh orang-orang di negeri ini. Tapi, apa yang beliau dapatkan? Hujatan dan makian hanya karena provinsi termuda yang selalu bergolak itu lebih senang keluar ketimbang jadi bagian NKRI.
Sungguh, baru kini saya merasakan betapa bodohnya orang
Indonesia ketika itu. Tidak hanya kehilangan provinsi termuda, tetapi kita juga
kehilangan seorang aset bangsa yang tidak ada duanya. Apalah artinya kehilangan
Timtim jika kita masih memiliki seorang Habibie, yang saya yakin adalah orang
yang tepat untuk mengatasi krisis Indonesia saat itu. Tetapi, kita kehilangan
dua-duanya, dan Indonesia tidaklah menjadi lebih baik setelahnya... Bangsa ini
memang memiliki PR besar untuk bisa menghargai orang lain. Memang mudah melihat
kesalahan orang lain, tapi apakah lantas kesalahan itu membuat segala
kebaikannya menghilang? Apalagi jika kesalahan yang dilakukan bukanlah murni karena
kekhilafan orang itu, melainkan karena keadaan yang memang tidak mendukung, dan
kemampuan untuk mengambil keputusan dengan cepat, tepat, dan terbaik untuk
semuanya dibutuhkan. Saat itu juga.
Judul buku : Ainun Habibie, Kenangan Tak Terlupakan Di Mata Orang-Orang Terdekat
Penulis : A. Makmur Makka, dkk.
Penerbit : Edelweiss
Cetakan: I, Maret 2012
ISBN : 9786028672504
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHyaaa.. Salah tulis tadi, maaf.. Tika dah baca buku yang ditulis sama Pak Habibie nya? Judulnya Habibie dan Ainun.. Aku baca kata pengantar dari Pak Habibinya aja udah termehek2 hehe :)
ReplyDeleteHhuaa.. Yg itu aku malah belum baca, Mbak. Masuk daftar dulu, deh. Belum punya keleluasaan uang utk beli. Hiks...
DeleteAku baca yg ini aja udah mewek2, gimana yg itu ya? Buku yang membuktikan dalamnya cinta beliau ke Ibu Ainun, yang jadi terapinya beliau agar ga masuk ke "Black Hole". Hhuaaa.... :'(
Bener-bener pasangan yang romantis banget, yaa....
sedih,. :'(
ReplyDeletetp bisa jd inspirasi .
Betul... :'(
ReplyDeleteJadi nge-fans sm Bu Ainun...
tulisannya keren,do like
ReplyDelete@ayu humairah: Terima kasih, ya.. ^^
ReplyDeleteLike
ReplyDeletesemoga ini menjadi resensi sekrippsi yang baik, Amien.
ReplyDeleteSilakan kalau memang bermanfaat :)
ReplyDeleteAsal jangan lupa dicantumkan sumbernya saja ya.. ^^
semoga wanita2 di indonesia dapat terinspirasi dari kisah ibu aenun.... best for bu aenun habibie....best woman from indonesia....
ReplyDeleteSetuju...kalo TImor timur sekarang masih ada.. entah berapa istri tentara lagi yang jadi menjanda... berapa ratus bahkan ribu lagi anak tentara yang menjadi yatim...Timor timur memang seharusnya dari dulu lepas dari NKRI karena masih banyak tantangan di depan sana yang perlu dihadapi bangsa kita tidak hanya terpaku pada satu masalah saja...
ReplyDelete