Kisah Epos Ramayana (Bagian 2)

Bagian kedua dari resensi kisah RAMAYANA. Bersiaplah untuk SPOILER dan bersabarlah karena resensi saya ini saangaattt paanjjaanggg~ ;p


BUKU EMPAT KISKENDA - KANDA

Buku keempat dibuka dengan Rama yang berduka cita karena kehilangan istrinya. Meskipun demikian, Rama tidak larut dalam hal tersebut dan bergegas menemui Sugriwa, seperti yang disarankan oleh seseorang yang ditolong Rama di buku ketiga.


Rama segera menemukan Sugriwa di tempat persembunyiannya di hutan. Awalnya, Sugriwa curiga pada Rama. Ia mengira Rama adalah mata-mata yang dikirim kakaknya, Subali, untuk membalas dendam. Hanuman, anak buah Sugriwa diperintahkan untuk menyelidiki kedua bersaudara tersebut. Hanuman pun menyamar menjadi seorang brahmana dan mencari tau tentang Rama dan Laksmana. Setelah memastikan bahwa mereka bukanlah musuh, Hanuman membawa dua bersaudara itu ke hadapan Sugriwa.

Sugriwa meminta Rama untuk menyelesaikan masalahnya dengan Subali, kakaknya. Ia dikejar-kejar oleh pasukan Subali, hingga harus kabur ke dalam hutan tanpa istri dan keluarganya. Rama meminta Subali untuk menceritakan alasan kenapa mereka berdua sampai berselisih paham. Subali menjelaskan bahwa penyebabnya adalah seorang wanita yang menjadi rebutan antara Subali dan seorang raksasa bernama Mayawi. Mayawi menantang Subali untuk bertanding dengannya, yang ditanggapi Subali dengan senang hati. Sugriwa dan istri-istri Subali (Oh ya, jangan kaget kalau mereka punya banyak istri. Di zaman itu memang begitu adatnya lho... ;p) mencegahnya, tetapi Subali tak mau menurut. Sugriwa mengikuti abangnya itu karena ia menyayangi Subali. Mayawi kabur begitu tau yang akan dihadapinya tidak hanya Subali, tetapi juga Sugriwa.

Subali dan Sugriwa mengejar Mayawi hingga masuk ke dalam hutan. Mayawi masuk ke dalam gua, dan atas perintah Subali, Sugriwa menunggu di pinggir gua sementara Subali masuk dan bertarung dengan Mayawi. Selama setahun penuh Sugriwa menunggu di pintu masuk gua tanpa mendengar sedikitpun kabar. Hingga pada suatu hari, terdengar suara pekik peperangan dari dalam hutan, bersama darah yang mengalir ke luar gua. Sugriwa mengira, abangnya telah tewas terbunuh, karena setelah itu tak terdengar suara Subali dari dalam gua. Sugriwa bergegas menutup pintu gua supaya Mayawi tidak dapat keluar. Setelah itu, ia pulang ke kerajaannya, Kiskenda, dan memerintah di sana dengan adil dan bijaksana.

Namun ternyata, Subali masih hidup. Ia sangat marah kepada Sugriwa yang dianggapnya telah merebut tahtanya. Ia memaki, memarahi, bahkan menyiksa Sugriwa. Sugriwa meminta maaf sepenuh hati kepada kakaknya itu, tetapi Subali telah buta oleh amarah, hingga tak mau mendengar adiknya itu. Sugriwa pun kabur ke hutan, dimana Subali tak dapat mengejarnya karena sebuah kutukan.

Rama berjanji kepada sahabat barunya itu untuk menolongnya. Mereka ke Kiskenda bersama-sama dan menantang Subali. Pertarungan dahsyat di antara keduanya tak dapat terelakkan. Mereka bertarung, hingga Sugriwa terdesak. Rama menyaksikan pertarungan itu dari jarak jauh, siap dengan busurnya untuk membunuh Subali. Tetapi, fisik keduanya begitu serupa, hingga Rama tak berani mengambil resiko memanah dan yang terbunuh justru Sugriwa, bukan Subali. Sugriwa semakin terdesak dan hampir terbunuh. Untungnya, ia berhasil melarikan diri ke dalam hutan.

Sugriwa sangat marah kepada Rama yang tidak menolongnya padahal ia sudah hampir kalah. Rama meminta maaf dan berkata bahwa ia tak dapat membedakan mereka berdua. Rama kemudian meminta kepada Sugriwa untuk bertarung sekali lagi. Ia berjanji bahwa kali ini ia tak akan salah mengenali mereka berdua. Sugriwa menuruti kata-kata Rama, dan kembali menantang Subali di Kiskenda.

Tara, istri Subali, menasehati suaminya agar tak terpancing tantangan Sugriwa. Sugriwa pasti dibantu oleh seseorang, karena jika sendirian ia tak akan bisa menandingi Subali. Subali yang memang pada dasarnya berpikiran pendek dan tak mau kalah, tak mendengar nasehat istrinya. Ia menerima tantangan Sugriwa untuk bertarung dengannya.

Di tengah-tengah pertarungan, Rama memanah Subali dengan busur saktinya. Subali jatuh ke tanah dalam sekejap. Dalam keadaan sekarat, Subali memaki Rama yang dianggapnya ikut campur urusan keluarga mereka. Rama juga tidak bertindak layaknya ksatria karena menusuknya dari belakang. Ia tidak pernah bermusuhan dengan Rama, tak pernah menyerang kota tempat Rama tinggal, tetapi Rama memperlakukannya dengan keji.

Rama terdiam mendengar kata-kata Subali yang sekarat, lalu mulai menjelaskan berbagai macam kesalahan Subali seperti tak bersikap adil kepada adiknya dan juga merebut istri Sugriwa. Rama juga mengingatkan arti darma kepada Subali. Subali menyadari kesalahannya, ia meminta maaf kepada Sugriwa lalu meminta adiknya itu untuk menjaga anak kesayangannya, Anggada. Tak lama kemudian, Subali pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebelum saya melanjutkan cerita, saya tergelitik untuk menyampaikan beberapa hal di sini. Pertama, cerita tentang pertarungan Subali dan Sugriwa. Saya pernah mendengar cerita ini sebelumnya, kalau tidak salah ketika SD dulu. Saya kemudian browsing dan dapat cerita versi pewayangannya. Di versi tersebut, ternyata Subali bertarung dengan dua orang raksasa. Sugriwa diperintah untuk menjaga gua, dan harus menutup gua itu jika ia melihat cairan putih yang keluar dari dalam gua. Cairan putih berarti Subali yang mati, sementara merah, jika para raksasa yang mati. Setelah pertarungan panjang (dalam versi ini tiga hari tiga malam, bukan setahun), dari dalam gua keluarlah cairan merah dan putih secara bersamaan. Sugriwa bergegas menutup pintu gua dan pulang ke Kiskenda. Ternyata, Subali masih hidup. Cairan putih yang keluar itu ternyata berasal dari otak raksasa yang kepalanya diadu oleh Subali.... #nahanmuntah

Kedua, adegan pertarungan Subali dan Sugriwa di Kiskenda. Sugriwa kalah di pertarungan pertama, karena Rama tak bisa membedakan mereka berdua. Di versi Ramayana yang saya baca ini, Rama berkata pada Sugriwa bahwa ia tak akan salah membedakan mereka berdua lagi. Jujur saja, saya bingung bagaimana Rama bisa melakukannya, karena tak dijelaskan di situ. Saya pun mencari-cari, dan ternyata ada versi Ramayana yang menyebutkan bahwa Rama memberikan kalung bunga kepada Sugriwa sebagai penanda (kalau dalam pewayangan Rama memberinya janur kuning). Dengan itu, Rama bisa dengan mudah membedakan mereka berdua, dan membunuh Subali.

Versi kedua yang sebenarnya lebih saya suka. Karena lebih masuk akal. Soalnya, Rama baru mengenal Sugriwa, sehingga pastilah sulit bagi dia untuk membedakan mereka berdua. Apalagi, Subali dan Sugriwa adalah saudara kembar. Yah, saya agak berkerut sebenarnya ketika sampai di bagian itu. Tapi, saya abaikan saja. Hahaha

Selanjutnya, yang ketiga adalah adegan ketika Subali sekarat. Subali yang sekarat memaki Rama dengan kata-kata yang pedas namun jujur. Sejujurnya, saya sendiri pun menganggap tindakan Rama itu pengecut. Seharusnya, jika memang Rama berniat untuk membunuh Subali, ia ikut menantang Subali secara terang-terangan dan bukan menyerahkannya kepada Sugriwa untuk bertarung seorang diri. Saya berbicara di sini tentunya sebagai seorang manusia yang awam dengan segala macam hal mengenai peperangan. Terpikir dalam benak saya, kalau seandainya kejadian itu dibalik. Subalilah yang baik, sementara Sugriwa dan Rama adalah orang jahat, kita tentu akan langsung mencap itu sebagai sesuatu hal yang sangat pengecut. Bersembunyi di balik layar, dan menyerang ketika musuh lengah. Jujur saja, saya tidak suka dengan tindakan Rama di sini.

Di versi yang saya baca ini, Rama juga bersikap sebagai orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada Subali yang hanya seorang wanara (arti harfiahnya manusia hutan. Di dalam Ramayana, digambarkan sebagai kera). Saya dibesarkan di dalam agama yang menganggap semua manusia itu sama kedudukannya, sehingga saya tidak suka juga dengan sikap Rama yang seperti ini. Apalagi sebelumnya dijelaskan bahwa kata wanara mungkin sebenarnya merujuk kepada bangsa Dravida yang tinggal di hutan (hayoo, diingat lagi pelajarannya waktu SMA dulu... xD). Penggambaran mereka sebagai kera saja sudah terasa merendahkan bagi saya. Ditambah lagi dengan adanya perbedaan bahwa bangsa Dravida dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding bangsa Arya.

Usut punya usut (kebanyakan dari Mbah Wiki, sih...), ternyata ada versi yang menerangkan bahwa setelah Subali memaki Rama yang dianggapnya pengecut itu, Rama menjelaskan kepada Subali bahwa ia memang bersalah. Karena kalau memang Subali adalah orang yang tidak berdosa, panah Rama tidak akan bisa melukai Subali, dan justru akan berbalik melukai Rama. Lagi-lagi, saya lebih menyukai versi yang kedua ini. Meskipun demikian, tetap saja dalam hati saya tak bisa memaafkan perbuatan Rama yang menyerang Subali dari belakang. Owh! I hate backstabbing!! #curcol

Kembali ke kisah di buku keempat ini. Sugriwa yang sekarang diangkat menjadi raja Kiskenda ternyata jadi lupa diri dan melupakan janjinya kepada Rama. Laksmana pun diutus Rama untuk mengingatkan Sugriwa akan janjinya. Sugriwa sadar akan kelalaiannya dan mulai memerintahkan rakyatnya untuk berpencar mencari Sita. Ia membagi pasukannya ke seluruh penjuru mata angin dan harus membawa kabar sesegera mungkin. Semua pasukan kembali tanpa hasil. Mereka tak dapat menemukan Sita. Harapan mereka semua kini tertumpu pada Hanuman yang belum kembali ke Kiskenda. Harapan itu tak sia-sia, karena Hanuman menemukan jalan ke Alengka.

BUKU LIMA SUNDARA - KANDA

Hanuman adalah seorang wanara yang sangat sakti. Ia bisa mengubah dirinya menjadi apapun yang ia mau. Ia juga dapat membesar hingga sebesar gunung, yang membuatnya dapat menyeberangi Alengka dalam sekejap. Alengka diceritakan dikelilingi lautan yang luas hingga siapapun tak bisa melewatinya.

Setibanya Hanuman di Alengka, ia menunggu malam tiba dan mengubah dirinya menjadi seekor kucing lalu menyelinap ke dalam istana. Ia mulai berkeliling dari satu ruangan ke ruangan yang lain untuk mencari Sita. Sita tak ada dimanapun di istana itu. Hanuman menemukan Rawana yang sedang tertidur pulas bersama istri-istrinya, tapi Sita tak ada di sana. Hanuman terus mencari tetapi tak menemukan istri Rama tersebut. Hingga akhirnya, ia menemukan sebuah taman indah, Asoka, dan Sita ada di sana.

Sita yang dikawal para raksasi terlihat sangat lemah karena berkuasa. Ia juga terlihat sangat sedih karena dipisahkan dari suaminya. Hanuman melihat bahwa ia tak mungkin mendekati Sita karena para raksasi yang menyeramkan mengawalnya dengan ketat.

Pagi pun tiba, Rawana yang diliputi nafsu bergegas menemui Sita di taman Asoka. Rawana terus membujuk Sita agar mau bersamanya dan melupakan Rama. Sita tetap teguh pada pendiriannya, dan tidak mengacuhkan kata-kata Rawana. Hal itu tentu saja membuat Rawana yang awalnya bersabar dan mengucapkan kata-kata manis untuk membujuk Sita, berubah menjadi naik pitam. Ia murka atas sikap Sita dan memberi waktu dua bulan bagi Sita untuk mengubah pikirannya. Jika ia tetap bersikeras menolak, maka Rawana akan membunuhnya. Rawana juga memerintahkan kepada para raksasi penjaga Sita untuk menggunakan berbagai macam cara untuk membuat Sita menyerah, namun Sita tetap bergeming.

Hanuman mencari cara untuk menghibur Sita tanpa menakuti perempuan itu. Ia pun menyanyikan sebuah lagu pemujaan untuk Rama, yang berisi cerita Rama, termasuk pertemuan Rama dengan Sugriwa dan upaya Rama untuk menemukan Sita. Sita merasa terkejut sekaligus bahagia karena akhirnya muncul secercah harapan baginya.

Hanuman meminta Sita untuk naik ke punggungnya dan membawa Sita pergi dari tempat itu. Sita menolak dengan halus. Ia tak pernah menyentuh lelaki lain selain suaminya, dan ia berpikir bahwa akan lebih baik jika Rama sendiri yang datang ke Alengka untuk menyelamatkannya dan membunuh Rawana. Sita meminta Hanuman untuk menyampaikan kepada Rama bahwa ia punya waktu dua bulan sebelum Rawana membunuhnya. Ia memberikan permata miliknya kepada Hanuman, sebagai bukti bahwa ia baik-baik saja.

Sebelum kembali ke Kiskenda, Hanuman menghancurkan seluruh taman Asoka, yang membuat Rawana murka. Ia mengerahkan pasukannya untuk menangkap Hanuman. Hanuman sangat lincah dan gesit hingga sulit ditangkap pasukan Rawana. Ia bahkan membunuh seorang anak Rawana yang membuatnya semakin murka. Akhirnya, Hanuman berhasil ditangkap pasukan Rawana setelah sebuah panah mengenainya. Panah itu sendiri sebenarnya tak melukainya, tetapi membuatnya tak sadarkan diri. Sementara itu, para raksasa mengikatnya dan membawanya ke hadapan Rawana.

Hanuman sebenarnya dapat meloloskan diri, tapi ia sengaja berpura-pura karena ingin berhadapan dengan Rawana. Rawana memerintahkan Wibisana, adiknya, untuk memenggal Hanuman, yang ditolak oleh Wibisana. Wibisana adalah seorang yang bijak dan paham tentang darma. Hanuman adalah seorang utusan, dan utusan tidak boleh dibunuh. Rawana menimbang kata-kata adiknya dan memutuskan bahwa Hanuman harus tetap dihukum. Ia memerintahkan pasukannya untuk membakar ekor Hanuman.

Hanuman menjadi sangat marah karena ekornya dibakar oleh kawanan raksasa itu. Ia segera meloloskan diri dan memperbesar dirinya. Hanuman yang terbakar api amarah membakar Alengka, dan menyebabkan kerusakan parah. Ia akhirnya sadar bahwa perbuatannya salah, dan khawatir jika kerusakan yang ia buat justru mencelakai Sita. Ia pun bergegas pulang dan memberi tahu Rama hasil yang ia dapat. Ia memberikan permata Sita, kemudian menyampaikan pesan Sita kepada suaminya tersebut.

Di buku kelima ini, yang menjadi tokoh utama adalah Hanuman. Seorang pria kera perkasa yang sakti dan juga pandai. Hanuman sendiri adalah karakter favorit saya lainnya di kisah Ramayana ini, selain Laksmana. Saya juga heran, kenapa saya selalu lebih tertarik kepada tokoh pembantu ketimbang tokoh utama. Dari sekian buku yang saya baca, tokoh favorit saya kebanyakan adalah tokoh pembantu. Seperti Hermione Granger di Harry Potter, Annabeth dan Grover di Percy Jackson, Mr. Darcy di Pride and Prejudice, Lintang di Sang Pemimpi dan Edensor, pokoknya rata-rata tokoh pembantulah yang saya kagumi. Di Ramayana ini ya Laksmana dan Hanuman yang menjadi favorit saya. Kesetiaan, keperkasaan, dan kepandaian mereka membuat saya suka dengan kedua karakter ini. Tetapi saya rasa, saya tak perlu memperpanjangnya dan bergegas untuk beranjak ke buku keenam, penyelamatan Sita dan pertarungan besar Rama dan Rawana.

BUKU ENAM YUDA - KANDA

Rama, Laksmana, dan Sugriwa mulai menyusun kekuatan di Kiskenda. Pasukan Sugriwa dikerahkan untuk membantu Rama membawa kembali Sita. Sementara itu, Rawana sedang cemas di Alengka. Ibu kotanya rusak parah karena ulah Hanuman. Alengka adalah kota yang tak tertembus sebelumnya, kedatangan Hanuman sendiri sudah merupakan sesuatu yang luar biasa, ditambah lagi ia mampu memporakporandakan ibukota Alengka, seorang diri.

Rawana mengumpulkan orang kepercayaannya dan memulai menyusun strategi untuk mengalahkan Rama. Ia meminta pendapat mereka tentang apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengalahkan Rama yang sedang menyiapkan penyerbuan ke Alengka. Para penasihat Rawana mengambil hati rajanya itu dan mengatakan bahwa ia pasti akan menang mengalahkan Rama, karena ia sangat kuat dan juga sakti, hingga dewata pun bertekuk lutut di hadapannya. Hanya seorang yang mampu mengatakan dengan jujur, dialah Wibisana, adik termuda Rawana.

Wibisana menyampaikan dengan lemah lembut bahwa kesalahan sebenarnya ada di pihak mereka. Pertempuran besar ini tak akan terjadi jika dulu para raksasa di hutan tidak mengganggu pertapaan Rama. Ditambah lagi, Rawana menculik Sita yang membuat Rama semakin marah. Wibisana meminta dengan halus agar kakaknya itu mengembalikan Sita kepada Rama.

Rawana menjadi murka mendengar kata-kata adiknya itu. Ia tak percaya jika manusia mampu mengalahkan keperkasaannya. Seluruh penasihatnya setuju akan ucapannya, karena mereka memang hanya ingin menyenangkan Rawana. Rawana mengusir Wibisana dengan kasar.

Wibisana yang terusir dari kerajaannya menemui Rama dan pasukannya di tempat persembunyian mereka, dan menyerukan niatnya untuk bergabung bersama mereka. Rama tidak serta merta percaya akan niat Wibisana tersebut. Ia meminta Wibisana untuk memberitahu informasi berharga tentang Alengka. Wibisana memberikannya dengan senang hati. Rama akhirnya berjanji untuk mengembalikan kehormatan Wibisana di Alengka.

Ketika itu, Rama belum mencapai Alengka. Ia masih berkemah di dekat lautan luas yang memisahkan antara pasukan mereka dan Alengka. Rama berseru kepada lautan untuk membantunya menyeberang. Dewa laut kemudian mengutus anak buahnya untuk membangun jembatan, supaya Rama dan pasukannya dapat melintas. Rama tiba di Alengka dengan selamat dan membangun kemah di Gunung Suwela yang sulit ditembus.

Mata-mata Rawana menyampaikan hal tersebut kepada rajanya, yang segera mengadakan sidang darurat untuk mengambil keputusan. Rawana kemudian mengutus Wijujiwa, seorang ahli sihir untuk menyihir kepala Rama, dan mengabarkan berita palsu kepada Sita.

Sita terkejut bukan main ketika Rawana menyampaikan kabar kematian suaminya, ditambah bukti kepala Rama dan busur milik Rama. Sita menangis tersedu-sedu mendengar kabar itu. Sayangnya, sebelum Rawana dapat meyakinkan Sita, jenderal kepercayaannya memanggilnya karena ada hal mendesak. Dengan demikian, sihir Wijujiwa pun sirna.

Di tempat lain, pasukan Rama bertarung melawan pasukan Rawana yang dipimpin oleh Indrajit, putra Rawana. Rama dan Laksmana roboh oleh panah Indrajit yang sakti. Pasukan Rawana yang mengira mereka sudah mati membawa kabar itu kepada Rawana. Rama dan Laksmana yang sekarat sembuh kembali berkat Garuda.

Pertarungan kembali dilaksanakan. Setiap jenderal yang dikirim oleh Rawana untuk menyerang Rawana, kembali hanya tinggal nama. Mereka tewas di tangan Rama dan pasukannya. Selain kaum wanara yang dipimpin Sugriwa, Rama juga dibantu oleh Garuda yang merupakan saudara Jatayu. Mereka bertarung dengan sengit, namun pasukan Rama masih di atas angin.

Rawana kemudian memeritahkan pasukannya untuk membangunkan Kumbakarna, seorang raksasa terbesar dan pasukan Rawana yang terkuat. Tapi ternyata, Kumbakarna juga harus meregang nyawa di tangan Rama dan pasukannya. Agak OOT, tapi sosok Kumbakarna ini mengingatkan saya pada sosok raksasa terbesar di manga favorit saya One Piece, Oars. Mungkin, Eichiro Oda, sang pengarang One Piece terinspirasi dari kisah Ramayana kali ya.. Hehehe

Kembali ke kisah Ramayana. Rawana mulai kebakaran jenggot, karena pasukannya mengalami kekalahan telak. Ia akhirnya mengutus anak kesayangannya, Indrajit, yang pernah menaklukkan dewa Indra untuk membunuh Rama. Kali ini, Laksmanalah yang turun untuk bertarung dengan Indrajit. Pertarungan mereka berlangsung sangat seru, karena kesaktian keduanya bisa dibilang setara. Laksmana berhasil mengalahkan Indrajit setelah menyarangkan anak panahnya yang telah dimantrai ke tubuh raksasa itu.

Akhirnya, tibalah pertarungan terakhir antara Rama dan Rawana. Rawana adalah musuh yang sangat kuat. Ada literatur yang mengatakan bahwa Rawana memiliki sepuluh pasang tangan dan sepuluh kepala yang membuatnya sulit dikalahkan. Tetapi di sini, Rawana hanya memiliki satu kepala dan sepasang tangan. Rama yang terdesak mendapatkan bantuan dari dewa, hingga akhirnya panah Rama berhasil menebas kepala Rawana. Sayangnya, kepala Rawana muncul kembali. Setiap kali Rama berhasil memenggal kepala Rawana, kepala itu muncul kembali. Begitu terus hingga seratus kali. Pertarungan berlangsung dengan dahsyat hingga tujuh hari tujuh malam. Hingga akhirnya, Rama mengeluarkan panah suci pemberian Dewa Brahma (dewa tertinggi dalam ajaran Hindu), dan menghabisi nyawa Rawana.

Rawana tewas, dan Wibisana diangkat menjadi raja baru Alengka. Sita sangat gembira karena ia bisa bertemu lagi dengan suaminya. Namun, kebahagiaan Sita harus ditunda sementara. Rama meragukan kesucian Sita, karena ia telah begitu lama tinggal di Alengka. Rama maupun Sita tidak tahu bahwa Rawana tidak akan bisa memiliki seorang perempuan jika perempuan itu tidak menghendakinya. Rawana pernah memperkosa seorang bidadari yang menyebabkannya menerima kutukan dari Brahma. Rawana akan hancur berkeping-keping, jika ia memperkosa seorang perempuan lagi.

Yang paling menyedihkan, Rama menyampaikan itu semua di hadapan para wanara dan penduduk Alengka. Sita tentu saja sangat sedih atas tuduhan Rama tersebut. Ia menyuruh Laksmana untuk menyusun kayu dan membakarnya. Sita masuk ke dalam api dan berujar kepada dewa api, bahwa jika ia memang suci, maka dewa api akan melindunginya. Ternyata, Sita selamat tanpa suatu cedera apapun.

Rama menyambut Sita dengan penuh sukacita. Ia mengungkapkan kepada Sita bahwa ia terpaksa melakukan tes terhadap kesucian Sita, karena Sita telah begitu lama tinggal bersama Rawana. Jika Rama menerima Sita begitu saja, orang-orang akan menganggap Rama sebagai orang yang dipenuhi nafsu birahi. Padahal ia adalah seorang anak Raja dan paham darma. Akhirnya, Sita dan Rama bisa dipersatukan kembali dan pulang ke Ayodya dengan selamat.

BUKU TUJUH UTTARA - KANDA


Di bagian awal buku Ramayana ini, diungkapkan bahwa buku ketujuh bisa jadi tidak ditulis sendiri oleh Walmiki. Mereka berpendapat bahwa kisah Ramayana harusnya berhenti di buku keenam. Selain itu, tampaknya banyak hal yang terlihat kontradiktif di buku ketujuh ini. Bagi saya pribadi, buku ketujuh ada buku yang paling saya tidak suka, dan mungkin saja ada benarnya jika buku ini sebenarnya adalah versi penambahan saja. Lalu, bagaimanakah isi buku terakhir Ramayana ini?

Diceritakan Sita sedang mengandung anak Rama. Layaknya seorang wanita yang sedang hamil, ia pun mengalami ngidam. Ngidam Sita berbeda dengan ngidamnya wanita lain, karena Sita meminta kepada Rama untuk pergi ke tepi Sungai Gangga dan memberikan persembahannya kepada petapa yang hidup di sana. Rama menyanggupi permintaan Sita, dan berjanji bahwa besok ia akan membawa Sita ke sana.

Rama, yang telah menjadi Raja Ayodya, berbincang-bincang ringan dengan para penasihatnya. Ia melontarkan pertanyaan kepada mereka tentang pendapat rakyatnya tentang dirinya dan keluarganya. Ia meminta mereka berkata jujur, karena kejujuranlah yang terbaik. Dengan kejujuran, ia dapat merubah sesuatu yang dirasa buruk menjadi lebih baik. Awalnya, para penasihat ini merasa ragu, tetapi Rama terus mendesak mereka. Akhirnya, mereka pun berkata jujur tentang apa yang disampaikan penduduk Ayodya mengenai raja mereka.

Penduduk Ayodya mengagumi kekuatan dan keperkasaan Rama yang sanggup mengalahkan kawanan raksasa di Alengka. Ia juga berhasil mengembalikan istrinya yang diculik Rawana. Akan tetapi, mereka merasa heran kenapa Rama mau menerima kembali Sita yang sudah begitu lama ditahan di Alengka. Sita tidak mungkin masih suci dan tidak ternoda oleh raksasa-raksasa itu. Rama yang mendengar bahwa rakyatnya bergunjing soal Sita, terkejut bukan main. Ia mengumpulkan saudara-saudaranya dan menceritakan isi hatinya yang sedih dan kecewa atas penilaian rakyatnya.

Rama kemudian meminta Laksmana untuk membawa Sita keluar dari Ayodya besok. Bertepatan dengan permintaan Sita sendiri untuk mengunjungi petapa di Sungai Gangga. Lagi-lagi Laksmana ditempatkan di posisi yang sulit. Ia akhirnya menuruti permintaan kakaknya itu dan membawa Sita pergi ke tempat yang diinginkannya.

Sita sangat gembira karena permintaannya dituruti. Sayangnya, Rama tak bisa ikut karena ia tak akan tega melakukan hal itu. Setibanya di tepi Sungai Gangga, Laksmana tak mampu lagi menahan kesedihannya. Ia benar-benar seperti makan buah simalakama. Bahkan ia berkata bahwa ia lebih baik mati daripada melakukan hal itu. Ia menyesal bukan main tidak menolak perintah kakaknya.

Ya, Rama berniat mengasingkan Sita di tepi Sungai Gangga, dan tugas itu diberikannya kepada Laksmana. Laksmana menjelaskan kepada Sita alasan Rama menyuruhnya membawa Sita ke tempat itu. Sita terkejut dan pingsan. Tetapi, Sita adalah seorang perempuan yang tegar. Ia menuruti perintah Rama yang disampaikan kepada Laksmana itu. Laksamana meminta Sita untuk menemui seorang petapa bernama Walmiki, yang tinggal di sana.

Sita sebenarnya sangat sedih dan berniat bunuh diri jika saja ia tak ingat kalau ia sedang mengandung anak Rama. Sebab jika ia mati, maka Rama tak akan punya keturunan. Akhirnya, Sita tinggal di pengasingan sekali lagi, tetapi kali ini tanpa suaminya. Tak lama, Sita melahirkan bayi kembar yang diberi nama Lawa dan Kusa. Nama anak mereka yang terakhir ini, Kusa, menarik perhatian saya. Kusa dalam bahasa Sansekerta memiliki arti rumput, sedangkan dalam bahasa Jepang, kusa juga berarti rumput. Saya jadi terpikir, apa mungkin ada kaitan antara keduanya, melalui agama Budha yang dulu datang dari Asia Selatan merambahi bumi Cina lalu datang ke Jepang? Sungguh menarik.

Lawa dan Kusa adalah murid Walmiki, sang petapa. Suatu hari, Walmiki meminta mereka untuk menceritakan kisah Ramayana kepada Rama, yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandung mereka. Dari cerita yang saya baca, tampaknya kedua bersaudara ini tidak tahu kalau Rama adalah ayah mereka. Di kisah Ramayana yang dinyanyikan oleh si kembar itu, terungkaplah kalau Sita sebenarnya suci. Suatu hal yang menurut saya cukup aneh untuk diceritakan kembali, karena Rama toh sudah membuktikan kesucian Sita di Alengka, ketika Sita masuk ke dalam api.

Sita dipertemukan kembali dengan Rama. Untuk kedua kalinya, ia harus membuktikan kesuciannya. Kali ini, Sita berseru pada dewa bumi untuk menelannya jika ia memang suci dan setia kepada Rama. Bumi pun terbelah, dan membawa Sita masuk bersamanya. Rama merasa marah, sedih, dan putus asa. Ia berseru kepada Bumi untuk mengembalikan Sita-nya. Tetapi, Bumi tetap bergeming. Diam seribu bahasa. Rama berkata bahwa ia akan mengobrak abrik isi bumi jika Sita tidak dikembalikan kepadanya. Brahma, sang dewa tertinggi, akhirnya turun tangan dan menenangkan Rama.

Sebagai seorang wanita, saya tentunya tidak suka dengan perlakuan Rama terhadap Sita. Rama yang seorang raja, harusnya dapat dengan mudah membuktikan kepada seluruh warganya bahwa Sita masih suci, dan layak menjadi permaisurinya. Apalagi, peristiwa pembakaran Sita dilihat oleh banyak saksi hidup yang bisa dipertanggungjawabkan perbuatannya. Atau bisa saja Sita membuktikan kesuciannya lagi di hadapan warga Ayodya seperti yang ia lakukan di Alengka dulu. Sebagai seorang raja yang bijak, Rama seharusnya melakukan hal itu, alih-alih mengambil keputusan yang tidak dipikir baik-baik dan mengusir Sita yang sedang hamil. Bahkan seorang ibu di India, yang berbakti kepada Rama, menganggap bahwa pengusiran Sita ke hutan adalah sesuatu hal yang tidak bisa ia terima.

Selain kisah di atas, ada satu kisah juga di buku ketujuh ini yang mengganggu pikiran saya. Diceritakan bahwa ada seorang brahmana tua yang menjerit-jerit menghadap Rama sambil membawa anaknya yang meninggal dunia, padahal usianya masih begitu muda. Brahmana ini mengancam akan bunuh diri di depan pintu istana jika Rama tidak menghidupkan kembali anaknya. Dia berkata bahwa Rama akan sangat berdosa jika ia mati, karena itu berarti ia telah membunuh seorang brahmana.

Penasihat Rama dikumpulkan dan seorang brahmana bernama Narada, mengungkapkan permasalahan yang sebenarnya terjadi hingga menyebabkan meninggalnya anak itu. Narada berkata bahwa ada seorang Sudra yang bertapa di masa itu (Dwapara Yuga). Sudra sendiri adalah kasta terendah dalam agama Hindu, yang menurut buku ini tugasnya adalah menghaturkan puja kepada ketiga kasta di atasnya, Brahmana, Ksatria, dan Waisa. Sudra diperbolehkan bertapa jika ia berada di Kali Yuga (masa dimana Darma sudah mengalami kemunduran), tetapi jika ia bertapa di masa itu, maka ia akan membawa ketidakstabilan bagi negeri dan raja yang berkuasa harus mengambil tindakan tegas atau ia akan masuk neraka.

Rama bergegas mencari Sudra itu ke seluruh tempat, dan menemukannya di sebuah gunung di selatan. Rama bertanya kepada petapa itu untuk memastikan identitasnya. Petapa itu bernama Sambuka, dan ia berasal dari kasta Sudra. Begitu mengetahui hal itu, Rama langsung menebas lehernya.

Sekali lagi, sebagai seorang yang hidup dan diajarkan bahwa manusia itu setara kedudukannya, saya merasakan apa yang dilakukan Rama ini sangatlah tidak adil. Saya rasa bukanlah kesalahan orang jika ia terlahir dalam suatu kasta tertentu. Lagipula, mengapa kasta membuat orang memiliki hak yang berbeda-beda? Saya sebagai orang awam yang tak pernah hidup di lingkungan semacam itu tentunya tidak bisa memahaminya.

Satu lagi yang cukup menggelitik saya adalah, Walmiki, sang penulis kisah Ramayana ini menampilkan dirinya secara jelas, khususnya di buku ketujuh. Saya merasa itu agak aneh, karena sang pengarang muncul dan secara tidak langsung melakukan 'promosi' terhadap bukunya. Bahkan sang Brahma sendiri turun dan menyerukan kepada Rama untuk membaca karya Walmiki ini. Hhhmm...

PENUTUP
Sebelum masuk ke dalam cerita, terdapat berbagai macam penjelasan di awal buku mengenai kisah ini, yang awalnya saya baca dengan terkantuk-kantuk karena saya nggak ngerti. Akhirnya, saya lewatkan dulu bagian pertama itu, dan mulai membaca ceritanya. Setelah selesai, baru saya baca lagi penjelasan yang tertulis di sana, dan saya baru mengerti! Kali ini nggak pake ngantuk, tapi pake ngangguk-ngangguk kayak burung perkutut.

Di sana juga dituliskan berbagai macam silang pendapat mengenai Ramayana. Seperti kapan Ramayana ditulis, keaslian kisah Ramayana (maksudnya, apakah Ramayana itu adalah epik yang benar-benar terjadi ataukah hanya cerita fantasi saja), begitu juga silang pendapat mengenai cerita Ramayana. Khususnya sih mengenai kisah pembuangan Sita dan pemenggalan Sambuka sang petapa Sudra.

Saya sendiri merasa bahwa Ramayana adalah buku tersulit yang pernah saya resensi (sejauh ini). Sebelumnya saya hanya tahu bahwa Ramayana adalah kisah mengenai Rama dan Sita. Saya tidak tahu bahwa buku ini berisikan spiritualitas Hindu yang begitu mendalam. Ramayana sendiri, tampaknya bukan hanya sekadar buku biasa bagi mereka, tapi telah menjadi semacam kitab suci yang disakralkan (CMIIW).

Nilai-nilai yang diungkapkan Ramayana cukup bagus. Terutama nilai-nilai universal seperti menghormati keluarga, berbuat baik kepada sesama, dsb. Nilai-nilai tersebut dapat saya terima, kecuali beberapa nilai yang menurut saya tidak sesuai dengan keyakinan yang saya anut. Mungkin itu jugalah yang membuat saya tidak dapat menikmati buku ini seperti semestinya, terutama ketika membaca buku ketujuh dari kisah ini, yang membuat saya kecewa. Tetapi, sesekali mempelajari sesuatu hal yang baru dari sudut pandang yang berbeda mungkin cukup baik. Saya jadi bisa menilai sesuatu dengan sudut pandang yang lebih luas dan mudah-mudahan bisa membantu saya untuk memahami banyak hal nantinya.

Oh iya, terjemahan Bapak Djoko Lelono sangat bagus. Puisi yang beliau terjemahkan sangat indah. Sampulnya juga cukup bagus, dengan ilustrasi Hanuman yang sedang membakara Alengka. Sayangnya, ada cukup banyak typo di buku ini, padahal ini sudah cetakan kedua. Mudah-mudahan cetakan selanjutnya bisa lebih baik lagi. Oh iya, saya jadi ingin membeli buku-buku terbitan Pustaka Jaya lainnya. Ketika melihat katalognya, saya sangat tertarik dengan karya-karya fiksi terkenal yang sudah diterbitkan penerbit ini, yang saya dengar sedang mengalami kesulitan finansial. Sedih rasanya kalau mendengar ada penerbit buku (terutama buku-buku berkualitas) yang mengalami masalah seperti itu.

Daaannn... Selesailah resensi terpanjang yang pernah saya buat. Semoga saja bermanfaat yaaa.... ;)

Judul : Ramayana
Pengarang : P.Lal
Penerjemah : Djoko Lelono
ISBN : 978-979-419-176-7
Penerbit : Pustaka Jaya
Jumlah Halaman : 448
Cetakan : Kedua 2008

Comments

  1. Agak kicer mataku bacanya tapi puas nih mba. Makasih ya uda di kasih spoilernyaaa :D

    Btw, tertarik beli buku PJ yg judulnya apa? :D

    ReplyDelete
  2. Hahaha.. Iya nih, emang panjang banget. Aku juga pegel ngeliatnya... ;p

    Banyak yang bikin aku tertarik Oky. Karya-karyanya Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevski, Mahabarata juga jadi pengen baca nih.. Hehehe

    Makasih lho, udah baca resensiku yang sueeppeerr puanjangg ini. xDD

    ReplyDelete
  3. Puanjang tapi menarik kok mba. It's much better than read it myself. Lebih kilat. Hehe. Tapi aku masih penasaran deh itu bab terkahir kenapa Walmikinya bisa muncul ya. Walmiki sendiri penulis buku ini lahir tahun berapa sih?

    Oh, kalau mau pesen, mention aja ke @scriptozoid mba biar gampang soalnya kalau pesen lewat gramedia online sering error :P

    ReplyDelete
  4. Waduh, aku lupa banget nyantumin biografi Walmiki di situ. Tapi kalo dicantumin pasti tambah puanjangg ya. Hahaha..

    Btw, Aku cari-cari di internet kayaknya kapan dia lahir masih agak misteri. Nggak ada website yg memberikan data pasti kapan Walmiki lahir. Ada yang bilang sekitar 500 SM, dsb. Lalu ada juga data yang menyebutkan kalau dulu dia itu pencuri, lalu bertobat. Ini, aku kasih linknya, coba aja main-main. Hehehe..

    http://en.wikipedia.org/wiki/Valmiki (dari mbah wiki)
    http://www.iloveindia.com/spirituality/gurus/valmiki.html (dr I love india)

    Waahh... Aku mau pesen buku-buku PJ. Mention @scriptozoid-nya bisa di twitter gitu? Atau nanti aku main-main ke webnya deh... Makasih yaa~

    ReplyDelete
  5. Wkt kecil dulu, aku baca cergam Ramayana-nya R.A.Kosasih. Dan emang ada perbedaan dgn versi yg dicerirain.
    ini beberapa :
    1. Rahwana gak bisa mati. Jadi..wkt itu Rahwana dikurung diantara 2 gunung. Seluruh tubuhnya (kecuali kepala) tertanam dalam bumi.

    2. Nah karena kepalanya Rahwana gak ikut terkubur, dia bisa melancarkan fitnah dan kutukan.

    3. Kutukan2 dan fitnah Rahwana ini terbawa angin hingga ke Ayodya, menimbulkan prasangka di hati rakyat Ayodya ttg kesucian Sita. (jadi klo di cergam digambarkan fitnah itu berupa gelembung tak kasatmata yg meresap ke dlm jiwa). Rama pun terpengaruh dengan gelembung itu. Semua terpengaruh kecuali Hanoman dan istrinya.

    4. Walopun terpengaruh, Rama diam aja (no comment mksdnya). Sita yg sedih karena Rama gak membelanya, kabur dari istana. Jadi bukannya Rama yg ngusir. Sita-nya yg kabur krn gak tahan.

    5. Rama sedih dan merasa bersalah wkt Sita pergi. Karenanya dia membuat patung emas berbentuk Sita dan tenggelam dlm duka

    6. Pertemuan Rama dgn Luwa-Kusa terjadi scr kebetulan. Waktu itu, Rama mengirim utusan2nya ke negara tetangga. Sbg pendahuluan, tiap kali memasuki perbatasan negara, dilepaskan kuda putih yg jd maskot Ayodya. Bila negara itu setuju bersekutu dgn Ayodya, kuda itu dibiarkan lewat. Bila mrk ingin berselisih dgn Ayodya, kuda itu akan ditangkap. Lalu akan terjadi duel antara utusan Rama dan pihak lawan.

    7. Luwa dan Kusa yg sedang main di hutan, tertarik dgn kuda putih yg cantik itu. Mrk pun menangkap kuda itu. Akhirnya terjadi duel antara utusan2 Rama (termasuk Laksmana) dengan Kusa & Luwa. 2 anak itu sakti banget, semua utusan Rama kalah. Akhirnya Rama sendiri yg datang ke TKP.

    8. Wkt pertama ketemu, Rama udah ngerasa aneh, berasa kenal sm anak2 ini. Jadi Rama nanya nama mereka, siapa ayahnya dan siapa nama ibunya. Nah wkt dengar klo nama ibu mereka Sita, Rama pingsan krn kaget.

    9. Kusa & Luwa yg melihat semua musuhnya sdh kalah, memutuskan untu mengambil mahkota Rama (simply krn mereka pikir mahkotanya bagus) dan kuda putih itu lalu pulang ke rumah. Di rumah, mereka kasi mahkota dan kudanya ke Sita. Resi Walmiki bilang, itu tandanya Sita sdh jadi pemimpin Ayodya walaupun Sita menolak. Disini jg Resi Walmiki cerita ke 2 anak itu ttg identitas Rama

    10. Dengan tujuan mengembalikan mahkota itu, Sita naik ke kuda diiringi 2 anaknya untuk mencari Rama. Wkt ketemu lagi, karena ngerasa guilty, Rama menyerahkan tahtanya ke Sita dan berencana bertapa. Sita menolak. Dia meminta Rama kembali ke Ayodya dan membawa kedua anaknya untuk dididik jadi raja. Rama meminta Sita ikutan ke Ayodya

    11. Berhubung msh sakit hati, Sita menolak dan bilang mau pulang ke "rumah"nya yaitu di perut bumi. Resi walmiki bilang ke Rama kalo Sita itu jelmaan Dewi Laksmi yang adalah istri Dewa Wisnu juga ratu kerajaan perut bumi. Dan untuk mendapatkan Sita, Rama harus melakukan hal yg sama dengan yg dilakukan Wisnu dulu.

    12. Berhubung Rama adalah jelmaan Dewa Wisnu, dia mudeng kudu ngapain. So Rama mengubah dirinya jadi babi hutan raksasa dan menggali menuju perut bumi. Memang legendanya dulu Wisnu ketemu Laksmi waktu Wisnu sedang jalan2 ke perut bumi.

    Di perut bumi itu, Rama (dlm wujud babi hutan) ketemu Sita (yg kembali ke wujud Laksmi). Sita ketakutan liat babi hutan tiba2 muncul di depannya, lgs keluarin panahnya dan kabur kembali ke atas. Rama menyusul dan meminta maaf ke Sita.

    Akhirnya Sita setuju kembali ke Rama dan keluarganya.


    Fiuuuhhh,....panjang ya komenku. Maafkan :D

    ReplyDelete
  6. Waaahh... Gitu tho ceritanya? Itu Rahwana jadi mirip Kronos di Percy Jackson, nggak bisa mati. Hehehe..

    Tampaknya Ramayana versi Indonesia lebih manusiawi untuk saya. Terutama perasaan Sitanya. Hehehe... Mungkin aku bakalan lebih suka dengan Ramayana versi ini (Indonesia) kali ya...

    Aku seneng lho tahu versi lain dari kisah ini. ungkin karena Ramayana ini cerita rakyat ya, jadi ada beragam versi. Dari penjelasan yang aku baca, di masyarakat India sendiri versinya ada macam-macam. Ada yang berhenti di buku keenam ketika Sita sudah berhasil diselamatkan, lalu Rama hidup sampai tua dan punya anak banyak, dsb.

    Terima kasih banyak atas komennya, mbak. Saya sangat menikmatinya lho, jadi seperti baca cerita dan jadi penasaran untuk baca versi RA. Kosasih-nya...

    ReplyDelete
  7. Berdasarkan yg aku baca sih, Rahwana emang gak bisa mati karena permintaan dia sendiri ke dewa. Aku lupa detailnya, pokoknya Rahwana do something dan Dewa Syiwa berjanji akan mengabulkan 1 permintaan dia. Permintaan Rahwana adalah hidup abadi. Klo yg versi mbak baca, gak ada ya ttg permintaan Rahwana yg ini?

    Hehehe...wkt dulu baca versinya RA Kosasih, sy udah sebel sama Rama. Kok jadi cowo gak tegas sih? ;D Tapi kayaknya bakal makin sebel dgn versi Rama di bukunya Pustaka Jaya ini. Biar begitu, rada penasaran sih ngebacanya

    ReplyDelete
  8. Oh, kayaknya sih yang aku baca dibahas sedikit mbak. Jadi pas Brahma mengabulkan permintaan Dasarata untuk punya anak lelaki, ia sengaja menjadikan Rama untuk membunuh Rahwana, karena dia udah janji ke Rahwana kalau dia akan kekal. Nah, ramalannya itu si Rama nanti bakalan membunuh Rahwana. Tapi yang versi ini juga sudah disederhanakan sama penyusunnya, P. Lal. Kalau baca versi aslinya pasti puanjangg deh. Hahaha

    Kita sehati nih mbak. Meskipun awalnya aku agak sebel juga sama Sita yang ku anggap angkuh, tapi akhirnya kasian banget ya si Sita. Terus Rama digambarkannya terlalu sempurna, sampe aku nggak percaya. Hahaha.. Aku sukanya Laksmana yang sering di"bully" sama Rama. Hanuman juga lumayan suka... ;)

    Coba aja baca versi yang ini mbak, pasti seru kalo udah punya gambaran tentang versi Indonesianya. Aku sendiri jadi bertanya-tanya soalnya. Hehehe

    ReplyDelete
  9. Saya suka sekali sama resensinya, Mba :) Dari dulu saya selalu ingin baca epos Ramayana (karena saya cuma tahu Ramayana bercerita tentang Rama dan Sinta, tapi ga tau ceritanya apa hehe) tetapi sampai sekarang belum kesampaian ._.

    Saya suka ngerasa gimanaaa gitu kalau ga tahu salah satu epos populer ini. Jadi resensi yang Mba buat ini membantu saya banget. Meski saya belum pernah baca, paling nggak saya ngerti garis besar ceritanya. Jadi ga malu-maluin banget :D

    Oh iya Mba, saya juga membaca Mahabharata versi Nyoman S. Pendit. Membaca Mahabharata juga kayaknya bakal membuat Mba sebel deh sama tokoh-tokohnya, karena ya begitulah... mereka suka labil, yang baik tiba-tiba jahat, yang jahat malah melakukan perbuatan baik hahaha.
    Sebenarnya salah satu hikmah yang saya pahami begitu membaca epos-epos macam ini adalah bahwa semua orang dapat berubah tiba-tiba, di akhir hayatnya, seorang bijak bisa saja menjadi orang bejat wkwkwk

    Sekali lagi makasih banyak buat resensinya, Mba.. Kalau nanti baca Sutasoma dan semacamnya, saya tunggu resensi dari Mba :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Alifia. Seneng deh kalau resensiku bermanfaat :")

      Iya, saya juga setuju kalau manusia memang berubah-ubah, kadang bisa jadi baik kadang jahat. Makanya epos mungkin penggambaran yang jujur kali ya. Dibandingin sinetron yang kalo jahat tuh udah bikin sebeell ke ubun-ubun xD

      Hehehe, Sutasoma ya. Minat sih, tapi mungkin nunggunya harus lama, karena saya belum punya bukunya X) dan nggak tau harus cari kemana. Huhuhuu...

      Sekali lagi terima kasih ya atas apresiasinya :)

      Delete

Post a Comment