Rumah Arwah - The House of The Spirit


Membaca Rumah Arwah karya Isabel Allende rasanya seperti menonton telenovela. Dengan latar Amerika Latin, nama-nama yang akrab ditemui di telenovela, dan kisah cinta yang dibumbui intrik-intrik mulai yang paling sederhana seperti cinta terlarang hingga intrik politik yang membawa kejatuhan dan juga bangkitnya sebuah negara. 

Kisah Rumah Arwah ini penuh dengan perempuan. Sesuai dengan tema baca bareng GRI bulan ini, yaitu fiksi perempuan. Ada dua perempuan yang menjadi tokoh sentral dalam cerita ini, mereka adalah Clara dan Alba.
 
Clara adalah putri bungsu keluarga del Valle yang paling unik. Ia memiliki kemampuan unik, yaitu mampu meramal masa depan, menggerakkan benda melalui pikiran, bermain piano tanpa membuka tudungnya, membaca mimpi, dan berkomunikasi dengan arwah. Clara yang memiliki penyakit asma pada suatu hari membuat ramalan yang mengejutkan mengenai keluarganya. Ramalan tersebut tentang kematian yang akan dialami oleh keluarga besar del Valle itu. Ramalan Clara benar-benar terjadi, meskipun ia tidak menyangka kalau kakak sulung yang sangat disayanginya-lah yang akan menjemput maut. Namanya Rosa. Ia putri tercantik di keluarga itu, dengan rambut hijaunya dan kulitnya yang putih pucat, ia laksana putri duyung yang mampu memikat semua lelaki. Tetapi, Esteban Trueba-lah yang bisa mendapatkan dirinya. Sayang, Rosa meninggal di usia yang masih sangat muda, ketika ia tanpa sengaja meminum arak beracun yang ditujukan untuk ayahnya, yang bekerja sebagai politikus.

Meninggalnya Rosa membawa efek yang tidak terduga bagi Clara. Ia menganggap, ramalannya-lah yang membuat semua itu menjadi kenyataan. Ia menolak bicara selama sembilan tahun. Tidak ada seorangpun yang mampu membuatnya bicara, bahkan pengasuhnya, Nana, yang kerap menakut-nakutinya agar Clara berbicara kembali. Ketika akhirnya ia berbicara, kata-kata yang ia ucapkan adalah ramalan atas pernikahannya sendiri. Ia akan menikah dengan tunangan kakaknya, Esteban. Lelaki yang sudah tidak muda lagi, tetapi memiliki kemauan keras dan berperangai kasar.

Tak lama setelah menikah, Clara dan Esteban pindah ke rumah besar di pojokan, tempat mereka membangun keluarga mereka. Clara hamil anak pertama mereka, yang berdasarkan penerawangan Clara adalah perempuan dan akan dinamai Blanca. Kehidupan mereka baik-baik saja, meskipun sifat nyentrik Clara tidak pernah hilang. Ia tidak pernah mengurus keperluan rumah tangga, dan menyerahkan semua urusan kepada kakak iparnya, Ferula. Ferula adalah kakak perempuan Esteban, yang sangat menyayangi Clara. Bahkan bisa dibilang, rasa sayangnya kepada adik iparnya melebihi batas yang dianggap normal kasih sayang antara kakak ke adiknya. Tidak jarang mereka berdua berusaha merebut perhatian dan kasih sayang Clara, yang sedikit demi sedikit mulai menghancurkan rumah besar di pojokan itu, yang memang tidak berdiri atas fondasi yang kuat. Persaingan Ferula dan Esteban berakhir ketika Esteban dengan kasar mengusir kakaknya, dan membuatnya mati dalam kesendirian dan rasa rindunya pada Clara.

Selain Blanca, Clara memiliki dua anak kembar, Jaime dan Nicolas. Setelah kelahiran si kembar, keluarga Trueba mulai memasuki masa krisis. Clara yang semakin tidak tertarik pada suaminya dan hanya memiliki ketertarikan kepada hal-hal spiritual seperti arwah, dll. membuat Esteban menjadi lelaki yang semakin kasar. Keluarga itu benar-benar hancur ketika Esteban yang murka karena Blanca mencintai anak mandor perkebunan mereka, Pedro Tercero Gracia, menampar Clara hingga perempuan itu tak sadarkan diri. Sejak saat itu, Clara pergi dari kehidupan Esteban dan menolak untuk bicara dengannya seumur hidupnya.

Alba adalah anak hasil hubungan Blanca dan Pedro Tercero. Meskipun terlahir dari hasil hubungan terlarang, tetapi ia adalah cucu semata wayang yang paling disayangi oleh Esteban. Ia mewarisi kecantikan Clara dan rambut hijau Rosa, yang seringkali mengingatkan kakeknya pada tunangan yang tak bisa dimilikinya itu. Alba tidak bisa berkomunikasi dengan arwah kapanpun ia mau seperti neneknya, tetapi ia memiliki kepekaan tersendiri yang membuatnya terkadang bisa merasakan hal-hal supernatural.

Ia sangat menyayangi kakeknya, dan satu-satunya orang di dunia ini yang peduli pada si tua Esteban Trueba yang hidup begitu lama hingga usia sembilan puluh. Ia juga satu-satunya orang yang dengan terang-terangan mampu menentang dan melarang kakeknya. Alba adalah penyelamat di rumah besar yang penuh dengan arwah itu. Ketika revolusi terjadi, ia berada di jalan yang berseberangan dengan kakeknya, yang membuatnya harus berhadapan dengan maut seperti yang diramalkan oleh neneknya. Alba harus bertemu dengan seseorang yang berasal dari masa lalu kakeknya yang berusaha untuk menghancurkan puing-puing yang tersisa dari keluarga Trueba.

Tokoh lelaki yang memainkan peranan penting dalam kisah ini tentunya adalah Esteban Trueba, yang sudah saya sebut-sebut sebelumnya. Esteban adalah lelaki yang penuh tekad, berkemauan tinggi, pekerja keras, tetapi sayangnya ia angkuh, sombong, keras kepala, dan juga kejam. Kerja kerasnya membuatnya mampu mengelola tanah keluarganya di wilayah pedesaan dan membawanya menjadi pemilik perkebunan yang paling sukses di seluruh negeri.

Sayangnya, keberhasilannya itu membuatnya lupa diri dan merasa kalau ialah yang memiliki nyawa setiap orang yang bekerja di perkebunannya. Dengan semena-mena ia mengambil setiap gadis yang ada di perkebunan itu dan mencampakkan mereka begitu ia selesai dengannya. Salah satunya adalah Pancha Garcia, adik perempuan dari mandor perkebunannya. Setelah Pancha hamil, Esteban mencampakkannya, tanpa menyadari bahwa kesalahannya itu akan membawa penderitaan yang tak berujung bagi dirinya di masa depan.

Ia sebenarnya adalah lelaki malang yang haus akan kasih sayang. Ia tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarganya yang berantakan. Kehidupan menempanya menjadi sekeras baja. Setelah menikah, ia sempat bersikap lembut, terutama kepada Clara yang sangat ia sayangi. Tapi sayang, Clara seringkali tak membalas kebutuhan kasih sayang suaminya itu dan lebih sibuk dengan arwah-arwah dan kenyentrikannya. Ia juga tidak berhasil mendekatkan diri dengan anak-anaknya, karena tidak pernah menampilkan kasih sayang secara eksplisit kepada mereka. Akhirnya, Esteban tumbuh semakin kejam dan semakin tidak berperasaan dari sebelumnya.

Seperti yang saya bilang di atas. Membaca buku ini serasa menonton telenovela yang ketika SD dulu menjadi tontonan yang begitu menghibur saya. Kisah yang penuh dengan intrik, pembalasan dendam, gonjang ganjing politik, semuanya cukup menghibur saya. Meskipun jujur saja, memasuki paruh terakhir buku ini saya mulai merasakan kejenuhan sendiri, karena ceritanya yang terlalu kaya akan detail. Detail-detail itulah yang tanpa ragu-ragau saya skip, terutama di bagian akhir cerita yang saya rasa tidak terlalu penting dan justru mengganggu alur cerita.

Hal lainnya yang cukup menganggu saya adalah kerancuan masalah waktu, usia si tokoh, dan lokasi yang seringkali membuat saya kehilangan semangat untuk merampungkan buku ini. Memang sih akhirnya diceritakan mengenai kerancuan itu, tetapi saya benar-benar jadi dibuat bingung olehnya.

Kisah ini harusnya bisa menjadi historical  fiction yang sangat menarik, jika saja saya tahu dimanakah lokasi terjadinya huru hara politik dan revolusi yang dilakukan oleh kaum komunis itu. Saya hanya tahu itu terjadi di Amerika Latin, tapi di Chili-kah, Peru-kah, Meksiko-kah, saya tak pernah tahu pasti. Ketika saya mencari informasi mengenai hal tersebut di website pun, saya tidak mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun tampaknya sih latarnya di Chili. Isabel Allende tampaknya beranggapan bahwa semua pembacanya sudah paham di manakah latar cerita ini berlangsung, hingga ia tidak mau bersusah payah untuk menuliskan letaknya. Tetapi, itu hanya membuat saya merasa bahwa kejadian tersebut terjadi di negeri antah berantah. Seandainya dia mau menyebutkan satu saja nama kota yang menjadi latar novel tersebut, pasti saya akan bisa lebih menikmati novel ini. Tetapi, mungkin saja Isabel Allende memang sengaja menyamarkan nama tempat, waktu kejadian, dan tokoh-tokoh yang berhubungan dengan kejadian ini, di masa sebenarnya.

Satu hal lagi yang membuat saya sedikit terganggu juga, tentang gaya bahasanya. Gaya bahasa yang berganti-ganti secara tidak jelas, mulai dari sudut pandang orang ketiga lalu beralih ke orang pertama, mengurangi keasyikan saya dalam membaca kisah ini. Kalau mau dalam bentuk memoar, ya sebaiknya sedari awal digunakan saja gaya penulisan orang pertama. Tetapi jika tidak, ya sebaiknya tetap konsisten dengan gaya penulisan yang sama dari awal hingga akhir.

Meskipun demikian, saya rasa novel ini benar-benar menggambarkan perempuan di zamannya, hingga beberapa penerbit berbahasa Spanyol menolak untuk menerbitkan buku ini. Bahkan novel ini pernah difilmkan dengan Meryll Streep sebagai Clara-nya. Tetapi, melihat dari sinopsis dan pemilihan orang-orangnya, saya merasa kalau film itu tidak akan sehebat novelnya. Mereka bisa jadi artis dan aktor yang hebat, tetapi kalau mereka bukan orang-orang asli dari Amerika Latin, atau minimal Spanyol yang masih punya kemiripan fisik, ya apa gunanya? Ada ciri-ciri fisik yang tidak bisa disamakan antara orang-orang yang tinggal di dua benua yang berbeda itu. Dan sejujurnya, casting yang buruk membuat saya tanpa pikir panjang tidak akan mau menonton filmnya itu.

Melalui buku debutnya ini, The House of The Spirit, Isabel Allende dengan apik dan detail menampilkan kisah perempuan-perempuan dari sebuah keluarga terpandang dari beberapa generasi yang berbeda. Mereka menjadi saksi sejarah dimulainya sebuah keluarga dan juga sebuah negeri. Mereka melihatnya bangun, hancur, kemudian bangkit kembali. Mereka adalah para perempuan yang acapkali dipandang lemah, tetapi justru di situlah letak kehidupan berada. Tanpa mereka, hidup menjadi tidak berarti dan kehilangan sentuhan manusiawinya. Sastra telah membingkai semua dengan segala keunikannya, dan membuat kisah mereka tetap hidup untuk dibaca oleh generasi-generasi berikutnya....

Judul buku : Rumah Arwah - The House of The Spirit
Judul asli : Le Casa de Los Espiritus
Penulis : Isabel Allende
Tahun awal terbit : 1982
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juni 2010

Jumlah Halaman : 599
ISBN : 978-979-22-5913-1                                                                                                     


Comments

  1. Aku suka banget loh buku2nya Isabel Allende gara2 baca the house of the spirits ini. Memang suka yg bergenre realisme magis gini, dan rata2 bukunya Isabel Allende bagus semua, hehe :)

    ReplyDelete
  2. Iya nih, lagi banyak bukunya Tante Allende. Kemarin pas aku ke toko buku aku liat banyak banget karyanya dia yang udah diterjemahin ke bahasa Indonesia. Aku penasaran sama yang "Potret Warna Sepia" krn liat sinopsisnya. Itu ada hubungannya sama nenek moyangnya Clara nggak ya? Habisnya, sama2 keluarga del Valle gitu... O.o

    ReplyDelete
  3. kok kata spirit diterjemahkan sebagai "arwah" ya dalam konteks ini?
    saya rasa cerita ini tentang perjuangan seorang anak muda yang melakukan revolusi di negaranya. jadi cerita ini sangat politik. dan spirit di sini adalah "semangat" dalam sebuah revolusi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, kalau itu sih saya juga kurang tahu. Itu hak prerogatif penerjemahnya... :)

      Tapi, kalau menurut pendapat saya sih judulnya sudah oke diterjemahkan sebagai "Rumah Arwah", karena rumah tempat keluarga Trueba tinggal memang penuh dengan arwah, mengingat tokoh utama cerita ini, Clara, memang senang memanggil arwah ke rumah mereka... :)

      Delete
  4. Sudah lama dengar buku ini tapi belum sempat baca dan jadi berminat untuk membacanya setelah menonton film nya di tv 12/11/2014

    ReplyDelete

Post a Comment